Sudah hampir pukul dua pagi entah mengapa aku masih saja ingin menuliskan puisi.
Istriku sudah lama terkapar mendengkur dari jam sembilan malam tadi.
Buku-buku masih tergeletak di ruang tengah, rokok dan teh manis sudah habis tepat pukul satu tadi.
Di luar burung-burung malam mengigau untuk pulang.
Angin berseteru dengan lampu jalan.
Para pedagang sayur satu persatu lewat di gang dengan gerobaknya,
aromanya mirip daun bawang, kol, dan kentang.
Seorang penjaga malam di ujung gang asyik tekun mendengarkan berita di radio handphonenya.
Pintu-pintu rapat terkunci, jendela kamar sedikit terbuka membiarkan udara menegur sapa.
Maling di mana maling, mungkin tengah siap-siap memakai topeng, menari dulu di bawah temaram bulan sabit sebelum memulai aksinya mencuri hati janda sebelah yang genit menarik rupa.
Aku masih membaca puisi-puisinya Rahab Ganendra dan Edy Priyatna.
Membaca postingan Seneng Utami dan juga Listhia H Rahman.
Meski kadang bingung dan takjub kepada Bapak Tjiptadinata Effendi dan Mas Achmad Suwefi yang mahir menulis dengan energinya yang tak pernah habis.
Kemudian aku bangkit dari tempat dudukku, meninggalkan layar monitor yang telah jenuh ku pandang, seekor kecoa melintas santai lalu terbang hinggap di atas akuarium.
Mungkin ia hendak menceburkan diri atau kagum melihat empat ikan mas koki yang gendut dan subur.
Bunga-bunga melati di halaman depan satu persatu berguguran, lalu sayup-sayup terdengar suara orang tua yang aku kenal membaca kitab suci sambil sesekali sesegukkan.
Ku perhatian orang tua itu dari jarak yang tidak begitu jauh, jendela rumahnya masih terbuka lebar. Dia yang tekun di siang hari membuat pemandian mayat yang katanya untuk dirinya nanti.
Di langit bulan melepaskan diri dari jeratan awan, bintang-bintang berkelip singgah ke bumi setelah ribuan tahun lamanya.
Tiba-tiba aku teringat sebuah sms tadi siang, kawanku mengajakku untuk bersama-sama menjenguk kawanku di rumah sakit.
Ternyata seumurku bisa juga terkena penyakit stroke, aku jadi khawatir.
Lalu aku berdoa dan berharap kepada Tuhan, pada apa yang berkecamuk dalam diriku yang membuatku lupa dan menjauh dariMu.
Ingatkanlah, sebab aku begitu lemah tak berdaya.
Segala waktu dan hidup hanya padaMu yang tahu.
Jangan lepaskan genggaman tanganmu sebab aku terus berusaha menggenggam tanganMu.
Sebab di dalam hening tak ada lagi rupa mewujud kecuali wajahmu yang lembut.
Aku akan pasrah pada maut di mana segala sunyi dan hidup terpaut.
Sudah hampir jam tiga, sebentar lagi para pedagang sayur datang membawa banyak sayur-sayuran dalam gerobaknya.
Bau bawang goreng tercium, Mpok Nani penjual nasi uduk depan pos satpam sepertinya sudah terbangun.
Angin perlahan menggiringku kembali masuk, meninggalkan halaman yang penuh dengan bunga melati dan daun sirih.
Tinggal beberapa lagi waktu menunggu subuh.
Kompasiana masih terpanteng di layar monitor.
Orang-orang masih menulis dan berkomentar.
Hari baru telah datang mengirimkan sekawanan nasib yang nanti di ramu saat matahari datang.
Mujur atau sial. Untung atau buntung. Susah atau senang.
Aku pikir tak ada bedanya toh semua sama-sama di uji.
Bunyi tokek di dinding kembali berbunyi.
Tak ada pertanda hanya bunyinya mirip dengan detak jarum jam tua.
Dingin menyeruak masuk, aku rebahkan badan.
Pintu masih terbuka, lalu seekor nyamuk nangkring di paha.
Dapat sedikit menghisap darahku sebelum akhirnya ku tampar dan terkapar.
Terima kasih Tuhan atas segala hidup dan karunia yang telah Engkau berikan kepadaku.