Dear, Monyet
Sejujurnya, aku tak mampu merangkum semua kisah yang telah ku lewati bersama dengan dirimu sebab semua itu terlalu panjang dan tak mungkin selesai dalam waktu yang sekejap. Â Aku pun tak pernah bisa untuk menuliskannya ke dalam sajak, cerita ataupun lagu padahal kisah kita pantas untuk di kenang bagi nina bobo diri di kala malam membuka ruang.Â
Tetapi kini ku beranikan diri untuk menuangkan sebagian kisah yang terlewat bersamamu di atas catatan kecil yang lusuh bagi kerinduan hati yang mendalam untuk sekedar mengenang dirimu, diriku, lautan dan gelombang. Â Barangkali di saat nanti kita menua dan tatap mata kita mulai kabur karena cuaca kita dapat mengilhami apa artinya rangkaian kehidupan yang pernah Tuhan berikan. Maka biarkanlah dinginnya malam dan subuh memeluk tubuh kita sekarang ini teruslah bersujud, memohon ampun dan mengucap ribuan bahkan jutaan terima kasih atas karunianya kita bisa berkeliling dunia.
Lihatlah, lautan luas maha membentang kita berada di tengah mengarunginya, lihatlah kita nampak kecil bukan apa-apa, kita sama sekali tidak berdaya. Namun telah kita tempuh ribuan jarak ribuan waktu menerobos percikan gelombang nan menderu, nafas dan tubuhnya yang selalu ingin menjamah diri kita, suara-suaranya yang memecah keheningan telinga. Kita tak pernah takut, kita tak pernah gentar justru deru gelombang membuat kita semakin asyik mengarungi lautan.Â
Tak jarang pula kabut pekat pun kita tembus di kala malam, kita lewati dengan tenang bersama cahaya redup dari langit sebab kedua bola mata kita yang mulai katarak tak mampu membedakan laut dan daratan. Sejauh jarak pandang hanya kabut lalu percikan gelombang terbawa angin menerpa tubuh kita yang semakin berkarat. Hening dan menggigil.
Aku ingat malam itu saat kapal kita menembus lautan Baltik untuk bersandar di St. Petersburg selama beberapa hari, kala itu kamu bilang sungguh nikmat rasanya bila dingin seperti ini ada sebotol vodka dan gadis Rusia lalu dengan gitar kita bernyanyi dan menari bersama. Lalu ku bertanya kepada mu apakah kau akan tetap ingat tentang daratan nenek moyang kita yang telah lama di tinggali. Kamu bilang tentu saja kawan, tentu saja, aku akan ingat tanah nenek moyangku sebab di sanalah darah pertama ku mengalir lalu jatuh ke tanah dan di serap akar rumpun-rumpun bambu dan pohon-pohon kelapa yang telah lama menghidupi aku dan seluruh keluargaku.Â
Dan tahukah kamu kawan bahwa harum bibir dan dada gadis pulau kita sehangat racikan kopi Sumatera. Aku tertawa, kamu tertawa, kita tertawa, sebotol Tequila telah habis berdua dan Tuhan dengan tenang menatap kita berdua. Saat itu langit di hiasi terang bulan purnama cahayanya memantulkan sebagian tubuh kita di permukaan laut maka nampaklah kita asyik berenang di sana sambil menggigil menahan dinginnya air lautan.
Segala benua dan daratan kita jelajahi, negara-negara besar masyhur dan tersohor kita datangi dengan senang hati dan bangga diri. Italia, Spanyol, Jerman dan Inggris di Rotterdam kita singgah lalu mampir di kedai Indonesia. Rusia, Afrika dan Norwegia, di New York kita sandar sebentar mampir ke hard rock menikmati alunan heavy metal lalu kapal berlayar lagi menuju terusan Panama.Â
Kemudian sampai di Puerto Vallartam di sana kita singgah lalu membeli sebotol Tequila sepanjang perjalanan pulang menuju kapal tak henti-hentinya kita bicarakan gadis cantik penjual gula-gula dengan tato mawar menghiasi dadanya. Dan semua itu seakan terjadi sesaat setelah kita asyik menghisap shisha di Istanbul di tengah malam yang dingin di temani irama musik gambus entah di mana kita di asia atau eropa
Kemudian pulau-pulau kecil yang tak pernah kita duga ada, yang tak pernah di beritahukan sewaktu kita di sekolah turut pula di singgahi. Sebuah pulau di tengah samudera Atlantik yang terbuka di sanalah sesaat kapal kita sandar sekedar istirahat sambil mencium wangi udaranya yang biru. Lalu di pulau kecil itu kita nikmati alunan senja yang pelan-pelan hadir tak terduga di kala mata kita lengah sebab pandangan tertuju kepada perempuan-perempuan Polynesia yang terbuka menari dengan mata dan senyumnya yang ramah.
Lihatlah senja merah nan merona telah ada di balik rimbun batang-batang pohon kelapa nan menjulang, Â tangannya yang lembut dan hangat memeluk tubuh kita. Tidakkah kau juga merasakannya bagaimana hangat sentuhan ramah perempuan-perempuan Polynesia. Kita di Hawaii, kita di Hawaii rasanya hati ini berteriak maka berilah satu kecupan bagi senja yang sebentar lagi akan menghilang bagi waktu yang sebentar lagi akan tenggelam berganti dengan pekatnya malam di pulau kecil dengan sejarahnya yang panjang. Sampai tiga bulan kita di sini berkeliling pulau-pulau kecil dengan gelombang ombaknya yang tinggi. Surga bagi lelaki dengan papan-papan selancarnya, tapi tidak buat kita sebab rasa-rasanya Bali lebih indah dari pulau ini.