Di negeri yang banyak menghasilkan koruptor kesejahteraan menjadi omong kosong. Menjadi mimpi di siang bolong. Menjadi harapan-harapan kosong. Dan kalian tahu artinya itu, sama juga bohong.Â
Lihatlah, lihatlah. Kaki-kaki rakyat yang pincang berbaris menikmati letih ketimpangan demi mengantri bahan makanan yang dibagikan gratis. Kesejahteraan bagai angin di musim panas kering kerontang menyergap. Sesak ke dalam paru-paru hingga menyerang jantung.Â
Tubuh tak lagi dapat menghirup kesegaran udara, kebebasan bersuara ditindas. Kalian tak akan bisa tidur nyenyak, kalian dibayang-bayangi mimpi seram dipaksa bertarung di tanah yang tak lagi bisa dibajak.
Sementara di lain tempat hukum bagai debu diterpa angin. Terkikis tanpa bentuk yang pasti, sarat diskriminasi. Semua diperlihatkan begitu murah menjijikan seolah-olah hal tersebut menjadi lumrah. Menjadi hal biasa dilakukan. Oh sungguh keterlaluan.
Maka kehidupan berbangsa seperti apa yang hendak kalian bangun? Demokrasi seperti apa yang hendak kalian usung? Adakah keadilan dan kesejahteraan bagi kami yang sekian tahun terkurung.
Bumi ini terus dilubangi, dikeruk, dihisap sedalam-dalamnya hingga keluar semua isinya. Minyak, intan dan batubara semua diangkut masuk ke dalam perut. Ke dalam mulut.Â
Tangan-tangan besi berlumuran jerit tangis orang-orang tak berdaya. Entah kapan meledak. Hutan-hutan telah rusak. Tunas-tunas muda patah berserak-serak. Begitupun lautan semakin dangkal tak mampu lagi diarungi kapal-kapal nelayan pencari ikan.
Wahai orang-orang dunia yang pandai berdalih. Demi gunung dan lautan negeri ini yang nampak asing. Demi perahu nelayan orang-orang miskin. Demi kerbau pembajak yang kurus kering. Petani kelaparan di negeri yang airnya mengalir jernih dari mata air.
Buruh-buruh pabrik yang semakin terjepit. Hutang yang menumpuk sebab pembangunan infrastruktur yang terus dikebut. Menjadi mimpi-mimpi masa depan yang sulit diurai bagai kabut dalam kalut.
Sungguh, tidak lagi nyenyak tidur kami di bale-bale rapuh. Memikirkan seragam dan buku-buku sekolah anak kami yang terlampau mahal. Belum lagi harga-harga barang yang terus naik melonjak. Pekerjaan yang susah di dapat. Pengangguran yang terus meningkat. Entah di mana kami bertempat tinggal. Di tanah kering kerontangkah atau di negeri subur yang penuh laknat.
Aku menunggu jawabmu sambil menikmati senja yang tak lagi indah di tanah kelahiranku.