Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Pesan dalam Koper

27 Juli 2024   00:39 Diperbarui: 27 Juli 2024   00:50 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku tak menyangka bahwa aku akan dibunuh olehmu secara sadis. Setelah kamu setubuhi aku di kamar hotel. Tadinya aku berpikir kita akan merencanakan sebuah pelarian menuju tempat terjauh yang paling tidak terjamah. 

Seperti ke kota kecil yang tidak tertera dalam peta perjalanan di mana senja kerap bermukim di setiap musim. Atau menetap di satu pulau membangun peradaban baru engkau menjadi raja dan aku menjadi ratu. 

Di mana dalam pulau itu rembulan selalu bersinar utuh. Bukankah itu janjimu sayang setelah kau perdayai aku hingga mengandung. Mengandung gelisah dan cemas. Dalam perut. Dalam tidur.

Ah lelaki memang paling bisa menyelinap dan menyelam dalam situasi yang paling tidak memungkinkan sekaligus. Apalagi perihal percintaan.

Kamu mengaku terpincut kepadaku setelah pertama kali mendengar tutur kataku yang lembut dan penuh perhatian bagai wanita di ruang stasiun saat mengumumkan kedatangan kereta dan dengan santun meminta agar semua penumpang segera bersiap.

Aku terpana kepadamu akan kegagahan dan kesopananmu seperti lelaki berpangkat yang tegas setia berjanji untuk membela dan berkorban untuk kesetiaan sampai titik darah penghabisan.

Jujur, aku tidak mengerti apa arti kesetiaan di mata lelaki. Sedangkan aku perempuan merasa tempat limpahan dosa dari nafsu kaum Adam yang sekian lama telah terawat dan diawetkan dalam kitab suci. 

Malam itu seusai kamu reguk nafasku yang paling liar dan syahdu. Kamu patahkan tulang igaku. Kamu sayat-sayat dadaku yang mengadung harap dan rindu. Lalu kamu cungkil bola mataku dengan kedua jarimu. Meski sebelumnya sering kamu bilang bahwa mataku yang bulat lebih indah dari rembulan, lebih cantik dari milik istrimu.

Jujur saat itu aku tak bisa menangis, tak juga bisa melawan hanya saja aku bingung kenapa aku tak punya firasat tentang kebrutalanmu. Aku tak punya mimpi terkait kematianku yang begitu sadis. Dan sayangnya Tuhan tak pernah memberi tahu. Sial memang nasibku.

Kemudian kamu seret tubuhku yang tidak lagi utuh. Rindu, cinta, harapan serta kepalaku kamu lempar terpisah. Bagian tubuhku tempatmu melampiaskan nafsu kamu masukkan dalam koper seperti akan bergegas pergi jauh ke suatu tempat dan mengira akan hilang ditelan waktu. 

Namun sehari setelah kejadian di hotel itu aku ditemukan di pinggir sungai tanpa identitas. Dan air manimu teridentifikasi masih membekas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun