Aku menulis puisi ini waktu angin kencang dan hujan lebat mengguyur kota Jakarta.
Sambil menghisap rokok di depan rumah petakan yang sering di kunjungi banjir dan nestapa.
Sejujurnya aku tak percaya prakiraan cuaca sama halnya aku tak percaya mulut-mulut politikusÂ
saat kampanye mendulang suara.Â
Masih di depan rumah petakan yang sempit. Hampir seluruh pintu tertutup rapat dan semua jemuran telah di angkat.
Ku perhatikan tetes-tetes air berebut jatuh menimpa apa saja. Bagai tombak-tombak kecil dari langit. Licin dan mengkilap.
Percikannya muncrat ke dalam mata juga ke dasar jiwa. Mereka tak khawatir terluka tak pula urung berduka.Â
Dan aku masih menulis. Serangkaian kata yang di bubuhi tetes hujan di kota Jakarta yang semakin tua dan renta.
Dari jauh suara anak-anak kecil gaduh telanjang dada berlarian menyambut hujan.Â
Mereka keluar dari lorong gang bersama puluhan kecoa yang tergenang di comberan.
Kiranya Tuhan telah membuat mereka bahagia. Melupa sejenak persoalan sekolah dan pekerjaan rumah yang belum selesai.