Aku sungguh kesal dengan adikku yang nomor dua, lantaran ia membawa seekor kucing kecil berwarna abu-abu ke dalam rumah. Kucing kecil yang barangkali baru umur sebulan atau dua bulan itu di tempatkan di dalam kardus bekas sepatu lalu di taruh di pojok ruangan yang kami sebut perpustakaan.Â
Keluarga kami memang suka kucing dan di rumah ibu sudah ada dua kucing kampung yang di pelihara. Saat adikku membawa kucing malang tersebut ke rumah ibu menyuruhnya untuk di berikan saja kepada tetangga kami yang kebetulan juga suka memelihara kucing.Â
Tapi adikku enggan menuruti kemauan ibu. Ia katakan bahwa kucing itu akan menjadi temannya, ia akan merawatnya sampai besar. Sampai mati.
Tetapi aku tahu benar siapa adikku, dia tidak pernah bisa merawat kucing atau hewan yang lainnya. Bukan hobinya. Ia hanya senang mengelus-ngelus dan bermain-mainnya saja. Mana mau dia memberi makan, memandikan kucing atau membersihkan pasir tempat buang hajatnya.Â
Aku tahu, ia sudah terlalu sibuk dengan urusan kerjaannya. Apalagi semenjak peluncuran buku pertamanya cara praktis belajar bahasa Jepang ia semakin giat untuk menulis kembali buku lanjutannya.
Kepada semua orang yang ada di rumah ia ceritakan perihal pertama kali ia temukan kucing tersebut. Di dalam selokan kering di depan ruko yang ia sewa tempat ia mengajar bahasa Jepang bersama tiga teman kuliahnya. Kucing itu kelaparan dan terus merengek memohon bantuan.Â
Setiap kali pulang dari tempat mengajar bahasa Jepang ia perlihatkan anak kucing tersebut lewat video call kepada anak dan istrinya yang tinggal di Cirebon. Sudah pasti pertemuan mereka pertama kali di ceritakan bagai serial drama tanpa adegan akhir.
Terlihat bahagianya kedua mahkhluk tersebut lewat sambungan video call. Saling bercerita, saling bercanda seperti perayaan kelahiran anggota keluarga baru. Kaki depan binatang kesayangan nabi itu berusaha menggapai-gapai ponsel sentuh adikku.Â
Tidur pun selalu di bawa ke kamarnya. Di sematkan kalung berwarna biru di leher hewan peliharaannya. Di beli sekarung makanan kucing untuk stok persediaan di rumah. Di beri nama kucing itu, si Bubu. Bubu kini temannya di rumah. Adikku sering berbicara dengannya bahkan tak jarang menggunakan bahasa Jepang.Â
Tapi setelah dua bulan kucing itu ada di rumah. Aku sudah tidak tahan, setiap mampir ke rumah ibu selalu ku dapati kotoran kucing kecil itu di pojok ruangan. Aku tahu kucing itu sedang lucu-lucunya bergerak ke sana ke mari, berlari-lari, senang bermain dengan tali.
Ibu tahu kekesalanku namun ia tidak tega juga membuang anak kucing tersebut. Dan untuk memelihara satu kucing lagi rasanya sudah terlalu banyak, rumah ini terlalu sempit. Rumah kecil ini bukan tempat penampungan kucing liar.