Aku menulis puisi dan engkau melukis sunyi lalu kita berciuman bertukar keheningan melalui mulut yang bungkam.
Masa lalu telah menjadi buku tergeletak di dalam lemari kayu yang kuncinya telah kamu buang.
Dulu kita pernah sama-sama keliru menafsirkan sebuah jalan yang menuju persembunyian para bintang.
Karena langkahmu limbung dan aku keburu telanjang maka kita berhenti di sebuah kebun apel yang penuh ulat bulu.
Entah pada usia keberapa baru aku ingat bahwa matamu yang tajam menatap mataku saat itu.
Seketika gemuruh beserta angin kencang datang dan gaun yang kamu pakai menjadi awan mendung.
Wajahmu memerah bagai apel yang matang entah harus ku petik atau ku biarkan di siram hujan.
Segera kamu ku bawa lari ke balik gunung, masuk ke dalam hutan yang lebat dan suaramu mengerang jauh bagai cahaya kilat.
Sampai di sini setelah semua itu berlalu barulah kita sadar ada sesuatu yang benar-benar tak dapat di sangkal.