Ibu, apakah engkau sudah mendengar bahwasanya ibukota negara akan di pindahkan konon jauh di seberang sana di sebuah pulau besar yang hutannya habis di tebang, batubaranya habis telan, tanahnya penuh lubang-lubang tambang.Â
Hewan-hewan di sana di telanjangi di biarkan terlantar di rusak rumah-rumahnya dan penduduk-penduduk adat hijrah menjadi budak-budak di tengah kota sebab tanahnya di gerus dan terus di gerus tidak tersisa.
Lahan-lahan perkebunan mereka mau tidak mau di relakan sebab di iming-iming mimpi, itulah kelihaian raksasa-raksasa berduit yang memegang kekuasaan.
Dan kini pulau itu sering di landa kebanjiran sebab hutan berubah menjadi lahan-lahan sawit, korporasi kaum-kaum berduit, lubang-lubang tambang ilegal sisa pengerukkan menjadi borok dari tanah dan hutan yang luas, paru-paru dunia cuma hayalan belaka.
Ibu, aku mendengar bisik-bisik tidak sedap dari rencana pemindahan ibu kota namun aku tak hendak ikut campur sebab aku merasa ibukota baru tak ubahnya akan bernasib sama dengan dirimu, di campakkan.
Dari sini aku mendengar orang-orang di sana gaduh selagi berita pemindahan ibukota semakin dekat, aku melihat mimpi-mimpi mereka gelisah saat ibukota baru akan berdiri di tanahnya.Â
Dan aku merasa akan ada orang-orang yang bersiasat buruk, mencari keuntungan di balik rencana proyek besar, bukankah sudah menjadi kebiasaan?.
(Ibu, pasanglah pelampung ini sebentar lagi dirimu tenggelam dan lihatlah wajahmu penuh asap, penuh limbah dan berkarat, maka biarkanlah kemacetan menjadi hiburan, gedung-gedung tinggi biarkan berkejaran, rumah-rumah biarkan terus tumbuh toh memang dirimu di lahirkan untuk sebuah peradaban).
Ibu, orang-orang kota gelisah, orang-orang desa gelisah, tanah dan air gelisah dan aku setia denganmu di sini menemanimu hingga kau hilang di telan lautan atau hancur oleh gelombang.