Bahasa cintaku ada di belakang truk antar kota yang terhuyung-huyung mengangkut gelisah.Â
Sedikit seronok mungkin membuat kamu menutup mata dan menganggapku gila.
Namun cintaku melesat kencang di jalan bebas hambatan selalu ingat pulang selalu ingin bermesraan.
Dan aku bukan bus malam yang diam-diam menyalip dari belakang sambil berteriak tidak sopan.
Aku bukan bajingan sayang yang sering kamu dengar dari berita orang-orang di pemberhentian.
Aku tak pernah tergoda pada wanita penjaja kopi yang dadanya setengah terbuka bila menjelang pagi.
Dan haram bagiku memasuki kamar panti pijat yang berkedok prostitusi.
Kerjaku memang keras namun aku cukup bertahan pada godaan.
Aku burung elang bukan burung nuri.
Naluriku tajam pada cintamu yang dalam.
Aku memilih kopi hitam buatanmu dengan sedikit cemilan yang kau buat semalam.
Dan percayalah cintaku tak akan pernah terbagi-bagi, janganlah engkau sangsi.
Duhai juwita permata hatiku.
Roda kehidupan terus berjalan dan mencintaimu tak membuatku banyak beralasan.
Cukup dengan senyum dan kesetiaanmu saat ku tinggalkan, bagiku itu cukup tidak berlebihan.
Bukankah engkau ku kenal saat kau menangis di sebuah halte pinggir jalan?.
Oh, gelisah kabut di remang-remang perempatan.
Nyala lampu dimku bagai sorot doamu untuk diriku seorang.
Ada banyak pilihan jalan namun hatiku telah tertambat pada dirimu sayang.
Dan katamu, "abang hati-hatilah di jalan, ingat adik seorang".
Maka suara klaksonku kencang memanggilmu dari kejauhan.
"Sayang, tunggu aku pulang".
Handy Pranowo
14012022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H