Lelaki kecil itu tidur di trotoar memeluk sepi menghangati diri. Â Perutnya di tekuk kakinya menyilang ke langit.
Angin menggigil basah kuyup di guyur hujan. Â Lelaki kecil itu tak punya mimpi, tak punya baju seragam.
Ia lahir dari rahim kali yang penuh sampah kebencian. Â Hitam, legam, kumal, bayanganya menempel di spanduk anggota dewan yang hobinya berdandan.
Ia adalah keluhan yang sering di abaikan nyanyian sumbang yang seringkali terbuang. Namun ia bukan pendendam, ia hanya pedendang kehidupan di jalanan.
Lelaki kecil itu mempunyai senja di matanya yang sering kali menyala merah. Di perempatan jalan, di sebuah taman, di gedung-gedung sekolah dan perpustakaan.
Senja yang merindukan kata-kata cinta untuk mengajaknya pulang ke rumah. Meski kakinya dekil tak bersandal, langkahnya tak pernah menginjak lantai kebahagiaan.
Kereta api lewat di depan matanya nampak sekali tergesa-gesa ia selalu bertanya kemana akhirnya kereta itu tiba. Ia membayangkan ada sebuah rumah di sana tempatnya berkeluh kesah.
Sebuah meja belajar, buku-buku, tempat pensil dan rautan. Serta sebuah ranjang yang empuk untuk istirahat dengan bintang-bintang berkelipan.
Kepada seorang petugas pintu pagar stasiun sering kali ia menitipkan sebuah sajak. Sajak yang di tuliskan untuk seorang wanita yang habis babak belur di aniaya dan di goda.