Tepat jam 5 lewat 15 menit menjelang matahari pagi, jam dinding di rumahku mati.
Aku lihat detik dan jarumnya merontokkan diri, angka-angkanya mengelupas meninggalkan aroma yang tak sedap seperti bau bangkai cicak.
Jam dinding itu kacanya buram warnanya coklat pudar, sekujur tubuhnya penuh debu seolah-olah tak ada yang memperhatikannya.
Ia menggantung di bagian sudut rumah yang sering di lewati namun ia selalu sendiri tak ada yang mau mengajaknya berdiskusi.
Tetapi ia begitu tabah setia melayani, tak pernah bosan mengingatkan kepada penghuni rumah yang seringkali lupa waktu, lupa diri.
Jam dinding itu aku beli dari sebuah toko jam di pasar dekat rumah, harganya tiga puluh lima ribu rupiah.
Seorang wanita tua asal Tionghoa adalah penjualnya, ia memakai tongkat, wajahnya keriput dan ia telah banyak memakan waktu.
Katanya jam dinding yang aku pilih ini adalah sisa terakhir yang semacam ini tak mungkin lagi di produksi.
Orang-orang tak lagi memerlukan jam dinding setelah barang persegi empat yang mudah di sentuh semakin akrab bahkan sanggup mencatat semua waktu yang penting.Â