Gagak hitam, oh gagak hitam sudikah engkau membawaku terbang ke tepian hari mengarungi luasnya langit berwarna-warni.
Tubuhku terasa berat oleh masa lalu yang getir dan saat ini aku lebih banyak diam mengurung diri, menjadi asing dan asin.
Aku ingin merasakan angin di tempat terbuka, mengeyangkan paru-paruku dengan udara jernih yang belum pernah ku rasa.
Sebab di bumi di tempat aku berpijak hanya ada sedikit udara segar selebihnya telah tercampur racun, menyengat hidung serta berbisa.
Tubuhku penuh luka di dera sunyi, bayanganku pun sekarat dan menyepi.
Aku bagai jalan-jalan sempit yang tak lagi di lalui, terlupa, hilang terselimuti semak-semak belukar.
Tak ada bunga-bunga tumbuh di sana, tak ada matahari, tak ada air bahkan tak ada hujan yang turun bagi jiwaku yang lara sendiri.
Aku hanyalah pokok-pokok duri yang melata, menjadi tempat sarang-sarang ular berbisa.
Namun mataku masih dapat menatap ke arah cahaya, meski hanya setitik cahaya.
Dan pikiranku masih bisa mengembara, menyingkap kabut, mengenal dosa-dosa.
Hanya saja aku belum pernah melihat Tuhan, aku membayangkan wajahnya.
Apakah sama seperti gagak hitam?
Handy Pranowo
06102021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H