Dengarkanlah gelisah angin membisik di tanah yang retak dan kering. Sedikit demi sedikit petak-petak sawah habis di ganti dengan pabrik-pabrik.
Tak akan lagi kita lihat padi-padi menguning selain cerobong-cerobong asap yang penuh getir. Sebentar lagi para petani akan pergi telanjang kaki menemui nasibnya yang perih.
Datang ke kota-kota menjadi pengemis sambil berorasi di tengah kemacetan pola pikir.Â
Maka bumi menyeka keringatnya kering kerontang tak berdaya, kaki dan tangannya melepuh terbakar matahari. Tanah tak lagi dapat di bajak dan di olah, tak dapat mengandung harapan selain mimpi-mimpi indah yang di perjualbelikan.Â
Seorang gembala bertopi caping berjalan gontai, matahari panas melelehkan tubuhnya. Di lihatnya pemandangan sekeliling sambil ia membatin akan keresahan di masa depan.
Jika tanah-tanah yang penuh rumput dan ilalang menjadi pabrik lalu akankah aku pantas menjadi pegawainya? Apakah mereka akan menerima ijazah dengan pendidikan yang rendah?
Adakah harapan hidup bagi hamba yang miskin, akankah kesejahteraan terjamin?
Maka sekali lagi bumi menyeka keringatnya kering kerontang tak berdaya, kaki dan tangannya melepuh terbakar matahari. Pohon-pohon mati kesepian, udara panas membakar kesejukan.Â
Tanah tak lagi menumbuhkan rumput dan ilalang. Tak dapat mengandung harapan selain mimpi-mimpi indah yang di perjualbelikan.
Sampai di suatu malam, gembala dan petani tak lagi tidur nyenyak. Resah hati menempel di dinding rumah yang dingin, perut kosong, pikiran melayang hingga subuh datang.
Mereka seperti hama wereng atau tikus sawah hidupnya selalu cemas dan di buru. Sementara pabrik-pabrik terus tumbuh mekar tak dapat di bendung.
Handy Pranowo
24092021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H