Di sini kata-kata seakan berjabat tangan dengan pemiliknya seperti tahu kapan waktunya untuk berpisah.
Tetapi kenangan tak pernah lama untuk disimpan selalu terbuka dan telanjang.
Sungguh aku sangsi terhadap apa yang aku lihat dan aku rasakan ternyata semua itu hanya bualan kehidupan.
Manusia terlalu sibuk dengan apa yang dilihatnya, terlalu sibuk dengan kata-kata yang mereka buat bahkan seringkali manusia tak pernah bisa memaafkan dirinya sendiri saat tak berdaya.
Kini aku lebih senang menyendiri, menggenggam sepi, memeluk keheningan jalan-jalan yang tak pernah kulewati.
Aku bosan dengan perjumpaan, aku jenuh dengan perpisahan, aku ingin sebuah kematian di antara ruang dan waktu di mana aku duduk sambil memeluk tubuh ibu.
Sebelum akhirnya tangannya yang lembut itu mengusap kepalaku yang penuh luka membiru.
Kubayangkan aroma tubuhnya bagai wangi susu pertama yang dimasukan ke dalam mulutku.
Aku mencoba untuk tidak menangis meski air mataku terus berjatuhan menikam perih luka di hatiku yang dalam.
Tak ada sesuatu yang benar-benar mesti dikenang bukan, toh hujan dan kemarau silih berganti datang.