Sebaiknya aku catat saja alamat tujuanku di rangkaian gerbong kereta yang akan membawa ku serta ke dalam perjalanan malammu agar aku lebih tenang merelakan diriku sepenuhnya kepadamu.
Sementara kamu menunggu jadwal keberangkatanmu, aku menunggu kondektur yang murah senyum menanyakan karcisku. Dan selama aku berada di dekatmu aku mempersilahkan orang asing berbicara menanyakan tujuanku kemana.
Lalu setelah itu aku pura-pura diam sampai peluit panjang berbunyi tanda kamu di persilahkan jalan dan aku berpikir kenapa tidak membuat satu puisi saja lengkap dengan sajian makanan dan minuman yang nanti kamu tawarkan di tengah perjalanan.
Nampak di luar jendela lampu-lampu saling pandang, saling merindukan meski pada akhirnya satu persatu dari mereka hilang. Sebentar mataku terpejam ku bayangkan diriku duduk di sebuah stasiun kecil sambil memperhatikan gerimis yang jatuh menyerupai ingatan ku tentang seseorang.
Aku rebahkan punggungku dan mengganjal kepalaku dengan bantal sewaan sambil mendengarkan gemeretak kakimu berlari kencang melintasi sawah, kabut dan segala rindu yang di jembatani kenangan silam.
Bersamamu malam tak pernah larut, bersamamu kerinduan tak pernah surut dan aku belajar mencintai senja meski sebenarnya tak pernah kau hadirkan selain matahari pagi yang nanti datang selepas stasiun Jogyakarta.Â
Namun bagiku itu bukan persoalan, antara aku dan kamu telah lama menjalin ikatan, ayahku yang memperkenalkannya dan aku berhutang kepadanya atas segala perjalanan yang menyenangkan.Â
Memasuki Solo Balapan kereta berjalan pelan, langit pagi tampak cantik bersolek di pinggir rel yang lama tidak terpakai, gerbong-gerbong kosong, bunga-bunga kertas dan panggilan dari speaker stasiun samar terdengar.
Tak ada lagi yang mesti di risaukan bersamamu telah ku relakan sepenuhnya perjalananku, menempuh kehangatan malam, menyusuri lembutnya matahari pagi.