Di selongsong malam tanpa mesiu tanpa ledakan, bintang-bintang meletupkan keinginan menggaris bawahi peta perjalanan kita menuju kota-kota yang menyediakan kenangan.
Kamu masih ingatkah nama kota terakhir yang kita tuju saat kabut malam merendah menjadi penghalang jarak pandang antara kau dan aku meski kita tahu cahaya lampu tak mampu menerangi apapun selain malam yang telah lama membeku.
Lalu kita berhenti di simpang jalan menikmati nyanyian sendu pengamen jalanan, bertopi coklat dan mempunyai tato di tangan, kamu memesan lagu kepadanya iya pun mengiyakan dengan menganggukan kepala.
Kamu peluk tubuhku erat seiring intro petikan gitar mengalun berat, lamat-lamat suara pengamen terdengar serak nyanyikan lagu cinta yang tak pernah fasih ku ingat.Â
Malam semakin dingin dan kita jauh dari arah pulang, beberapa kali ku tahu kau sembunyikan air matamu ketika lagu membawa hatimu jauh melanglang.Â
Aku tahu kamu ingin aku menyanyikan lagu itu untukmu namun maafkanlah kasih, aku tak mampu. Dan biarkan lah lagu itu tetap menjadi keraguan hatimu untukku.
Barangkali nanti di suatu waktu, di tempat yang lain ketika rindu tak dapat lagi ku bendung, aku akan nyanyikan lagu itu untukmu. Ketahuilah sayang aku hanya lelaki bisu tanpa kata-kata cinta, tanpa kata-kata rindu.
Sebelum lagu itu selesai kamu selipkan uang ke dalam gelas plastik yang tergeletak di lantai trotoar. Kataku adakah lagi lagu yang akan kamu pesan mumpung lelaki itu masih mau menyanyikan kerinduanmu yang tertahan. Tidak, katamu.
Lalu kota ini tiba-tiba menjadi hening hanya desir angin yang membuat kita menggigil. Sang pengamen merapikan alat-alatnya dan ia mengucapkan banyak terimakasih.