Aku menggeliat keluar dari sisa-sisa makanan yang kalian buang, sisa-sisa makanan yang kalian beli dari uang haram. Bahkan tak jarang pula aku muncul dari daging tikus yang mati di selokan atau dari perih luka-luka yang teraniaya. Teman-temanku yang mati karena kemiskinan, sulit berobat sulit makan. Â
Kehidupanku keras dan menjijikkan. Aku binatang jalang, biang penyakit, biang kerusuhan mesti di singkirkan atau di semprot disinfektan.
Aku hidup di kelembaban kumuh pemukiman yang tidak kebagian matahari pagi sebab terhalang bangunan-bangunan tinggi menjulang.
Aku merayap dari pintu dan jendela  yang tak pernah terkunci rapat, tergelepar di trotoar dan terinjak injak. Aku ini belatung yang tak tahu di untung. Aku ini belatung yang coba mengadu untung di tanah kelahiranku sendiri bukan di negeri orang.
Aku tak menyukai matahari senja, aku benci perubahan iklim yang di sebabkan rumah kaca . Aku tak mau menjadi lalat, aku tak ingin menjadi bahan peledak, Â aku hanya ingin menjadi kupu-kupu atau capung yang bebas hidup tanpa di curigai sebagai penjahat atau antek-antek pemberontakan.Â
Kupu-kupu manis atau capung jarum nan lentik, bagi kebutuhan ku yang hanya sedikit adakah kiranya kalian mau membantuku?
Lihatlah aku, hidupku, belatung kehidupan yang tak pernah berhenti mengetuk pintu hatimu sekedar bertamu menanyakan hak milikku yang kalian janjikan saat kampanye pemilu. Apakah aku berlebihan?
Handy Pranowo
23012021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H