Maukah kau mendengarkan sebuah puisi tentang sebuah rumah yang penuh dengan pelangi dan butiran hujan di langit-langit bercahaya mewangi seperti rambutmu yang baru saja di cuci. Hitam keriting.
Ndeh, kaukah itu yang akan menetap di dalamnya memasak sayur labu telur puyuh untuk hidangan makan malam sebelum gerimis datang mengetuk pintu mengajak kita bermanja di bawah selimut, mengeja tiap kecup bibir menjadi kata rindu.
Entahlah
Rumah itu bertiang kayu dari hutan Payakumbuh dengan atap genting yang melenting, ujungnya melengkung bagai tanduk kerbau yang tak pernah kalah bertarung. Dan setiap senja datang rumah itu berganti warna jingga membayang ke ruang tengah dan kamar utama.
Dan lihatlah, nampak jam dinding bulat besar di sana di sebelah utara persis jam gadang Bukittinggi agar kita tak lupa waktu untuk berdoa seperti nenek moyangmu merepih perih menyemat tradisi agama.
Marilah kita beralih ke halaman depan di tengah sana tumbuh pohon Andalas yang di percaya sebagai tongkat sakti Datuak Parpatih nan Sabatang tunggu nanti buahnya masak berwarna merah marun bagai kenangan pertamaku mengenalmu di larik senja ketika mataku dan matamu bertaut angan.
Handy Pranowo
21012021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H