Malam gempar di langit Jakarta di bulan Ramadan, hawa panas menyerang kepala, hati di amuk dendam ingin berkuasa. Orang-orang gaduh, bayang-bayang kelam saling menikam, masa lalu yang suram mengerang ingatan.
Aku dengar namaMu di teriakkan, aku dengar jejak pasukan seakan menuju perang, apakah Badar kan terulang lalu siapa yang di perangi, siapa yang memicu peperangan sedang negara ini aman dan tenteram.Â
Para fakir yang biasa tertidur di pinggir jalan terbangun, menyingkir, melepas selimut kumalnya dan bertanya satu sama lain, ada apa gerangan? Apakah ini malam Lailatul Qadar, akankah datang keberkahan bagi sesama.
Di kejauhan asap hitam mengepul, ada api membakar mobil-mobil, ada api di antara kawat berduri dan bulan menunduk sedih tak berani berkata apa-apa dan ini adalah pemberontakan brutal demi sebuah kuasa dunia.
Ini bulan baik mengapa kalian tak memerangi diri kalian sendiri, mengapa kalian menodai kesucian Ramadan hanya demi kekuasaan yang tak secuil pun kalian bisa kuasai tanpa ridhoNya, bumi pertiwi sudah teramat luka untuk di ciderai.
Kalah dan menang bukan sebuah ukuran kejayaan diri masing-masing mempunyai hikmah dan arti yang lebih penting dari itu adalah persaudaraan, saling menghargai satu sama lain.Â
Malam yang gempar di langit Jakarta dan aku menangis sedih, nyawa manusia telah hilang, demi apa, untuk apa.
Handy Pranowo
22Mei2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H