Aku melihat gunung terapung di dadamu hendak meletus, meluapkan keinginan yang menggebu yang kerap kali di bayangkan para laki-laki dungu ketika kemaluannya sengaja di terbangkan di jalanan penuh sampah dan debu.Â
Aku juga melihat senja di kedua bola matamu teduh dan penuh abu abu sebab malam datang begitu cepat seperti yang selalu kau harap, menggiring kelam warna hidupmu yang paling lugu. Bibirmu merah membeku di bilas secawan anggur dan asap rokok yang nampak kaku bagai kabut kedinginan di pagi buta ketika jumpa pertama dengan wajah dunia.Â
Senyummu mengurai bahasa yang sulit ku tangkap dengan ke dua telinga kecuali hasrat purba yang telah lama di wariskan Adam kepada Hawa. Oh, aroma wewangi menyebar bagai polusi udara yang sulit terurai. Dirimu telah melembutkan kehidupan yang kaku dan tak semua wanita bisa melakukannya dengan sekali sentuh.
Dan pada akhirnya kau lupa pada cita-cita hidupmu yang terdahulu, jadi dokter ataupun jadi guru toh lambat laun semua itu tak begitu di perlukan kecuali sebuah kesenangan yang mudah di dapat lalu hilang. Dan kamu tak akan pernah pudar selamanya dalam bayang-bayang malam.
Handy Pranowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H