Mungkin inilah saatnya mendengar daun-daun yang gugur di pinggir jalan-jalan raya Jakarta. Mendengar arus air di kali yang keruh, merasakan udara yang ramah, kendaraan tak banyak lalu lalang dan gedung-gedung sepi dari kesibukan.
Lihatlah, trotoar-trotoar lengang tak ada pedagang tak ada pengunjung. Gerobak-gerobak pemulung terparkir, canda tawa gelandangan terdengar dari gubuk-gubuknya yang sebentar lagi tergusur. Mereka sedang merasakan kebahagiaan lebaran.
Di udara suara-suara bising kejenuhan di ganti dengan nyanyian burung-burung yang tak dapat kau dengar di waktu normal. Orang-orang banyak yang pergi, rumah-rumah rapat terkunci. Yang tertinggal hanyalah satpam di temani rokok dan kopi.
Jakarta sepi, Jakarta di tinggal pergi namun ia belum mati hanya istirahat dari hari-hari yang biasanya padat. Dari hari-hari yang tak kenal kompromi. Maka inilah saatnya menikmati hening Jakarta, menikmati lampu-lampu jalan yang kerap kali mengundang gelisah.
Jakarta di tinggal pergi namun ia tetap tumbuh, terus menggeliat dan menebar pesona yang berbeda. Dan apabila datang waktunya, libur hari raya telah usai, Jakarta akan kembali menyambut warganya. Menyambut keramaian dan cerita-cerita mereka dari kampung halaman. Maka kehidupan sebenarnya akan di mulai dan Jakarta begitu setia.
Handy Pranowo
17 Juni 18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H