Aku akan berziarah ke makam ibuku, di tengah lautan sana bersama kecipak gelombang yang penuh dengan air mata. Ibuku tenggelam bersama harapan yang di kandungnya.
Sebenarnya ia sadar menjadi tenaga kerja ilegal adalah hal yang memalukan, kejahatan yang paling manis dengan iming-iming kesejahteraan. Ibuku terpanggil sebab segala biaya seakan berontak di tengah dinding jaman yang retak.
Sedangkan aku tak mampu berbuat banyak, hanya bocah ingusan yang berharap bisa duduk di bangku sekolahan.
Aku membayangkan ibuku kalut ketika kapal kayu yang mengangkutnya oleng di hantam badai. Muatan yang penuh sesak, ibuku megap-megap bernafas. Camar-camar bingung memberi pesan sebab gelap yang terlihat hanyalah kepanikan.
Tanda bahaya telat di sampaikan, regu penolong susah sampai di tujuan, orang-orang telah mengapung. Di mulut mereka penuh gelembung-gelembung doa yang tak sampai ke langit. Tuhan bagai pahlawan kesiangan. Aku pun tak mempunyai firasat kecuali harapan yang baik.
Lalu mesti bagaimana ku perbuat kecuali berita menggemparkan datang seakan badai turut pula menghantam jiwaku. Tak dapat lagi ku bayangkan berlari-lari riang usai dentang bel sekolah.
Aku akan berziarah ke makam ibuku, di tengah lautan sana bersama kecipak gelombang yang penuh dengan air mata. Ibuku tenggelam bersama harapan yang di kandungnya.
Handy Pranowo
4518
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H