Jalan nampak lengang tak bersuara, di sepikan cahaya lampu temaram.Â
Kabut tipis menyeringai bangkit dari kegelapan, ke dua tangannya memeluk apa saja yang di lewatinya.
Sementara sisa-sisa kehidupan mengantuk di pinggir jalan ingin segera berada di ranjang, meski dengan persoalan yang belum sempat di tuntaskan.Â
Persoalan yang seringkali membuat mereka lupa terlelap dan melupakan pagi.
Sementara aku menjadi asing, menempuh jalan menuju pulang semacam lupa arah dari suatu tempat yang akrab di kenal.Â
Terlebih lagi, aku tak mengenali nama penyanyi dari lagu yang sering ku dengar melalui tape mobilku sepanjang perjalanan.Â
Yang ada di pikiranku hanyalah sebuah trotoar tempat di mana aku harus berhenti dan memulai.Â
Berhenti dari kecemasan masa silam, memulai segala apa yang di harapkan.
Tapi aku baik-baik saja, tidak mabuk, tidak pula mengantuk, apa mungkin karena kabut meninggalkan jejaknya di hatiku hingga membuatku kalut.Â
Ku buka sedikit jendela kaca mobilku, kupersilahkan angin mengelus keningku, dalam setiap perjalanan ada yang mesti di bawa namun ada pula yang mesti di tinggal.Â
Dan aku menghayati setiap tikungan dan kebimbangan perempatan jalan yang di jaga pemuda-pemuda recehan.