[caption id="attachment_412246" align="aligncenter" width="630" caption="imgarcade.com"][/caption]
Lelaki itu mengikuti jalan angin membawa segenggam hujan di kedua tangannya.
Entah kepada siapa ia ingin persembahkan nyatanya tanah yang di pijaknya masih terasa basah dan menyala.
Waktu kian tergelincir menuju senja, engkau terus berjalan tanpa nama terkait di dada.
Bola matamu tak berkedip mirip bongkahan batu panca warna yang sering di gerinda oleh perempuan tua di rumahnya.
Perempuan tua yang pernah mengandungmu sembilan bulan tanpa keinginan apa-apa.
Engkau terus berjalan lambat dan tenang, melewati garis-garis mendung yang biasa di lukis oleh para petani bawang di musim kemarau.
Dari tanganmu tetes-tetes air terus berjatuhan, di hisap akar rerumputan, di minum oleh cacing-cacing yang kehausan lalu bunga-bunga mekar di petik gembala kerbau.
Di taruh di dalam kandang sebagai obat pengusir nyamuk dan penghilang bau kotoran.
Aku terkesima larut dalam bayang-bayang dirimu, halilintar memercik di sekujur tubuhmu.
Jubahmu hitam, rambutmu panjang terurai seperti sebuah musim yang fasih melewati sungai.
Entah kemana tujuanmu aku terus menduga-duga seperti juga senja, lembah dan pegunungan yang tiba-tiba bertanya "akan kemanakah lelaki itu berjalan, dengan segenggam hujan di tangannya yang mulai beku, kaku, dan ragu untuk di tumpahkan".
Hingga malam datang membawa kabar melalui pengeras suara surau-surau desa.
Lelaki itu ingin menguburkan dirinya di langit bersama angin dan awan yang genit membelai.
Hingga nanti di akhir tahun ketika burung-burung walet berterbangan di atap rumah dan persawahan.
Ia akan sebar seluruh hujan yang ada di genggaman tangannya.
Dan sebagian ia akan titipkan kepada perempuan tua yang telah mengandungnya sembilan bulan.
handypranowo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H