Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Matinya Sang Komedian

1 April 2015   20:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:40 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertunjukan telah usai, tirai kain di turunkan,

lampu-lampu panggung redup dan perlahan menghilang cahayanya.

Gelap.

Di balik tirai duduklah sosok lelaki di atas bangku kayu berwarna hitam , letih, berkeringat dan haus.

Di lepaskan kostum panggungnya, hari ini ia berperan sebagai banci, bibirnya di merahkan,

bulu matanya lentik palsu, bersepatu hak tinggi, dengan rambut palsu.

Tak ada teman, hanya sendiri.

Para penonton telah pergi dengan senyuman yang paling sumringah di bibirnya,

mulutnya tak habis berkata-kata mengikuti guyonan yang di suguhkan oleh komedian, saku baju dan

celananya penuh dengan candaan, gaya tubuh si komedian di simpan dalam ingatan.

Mungkin esok saku-saku yang penuh tadi akan di berikan pula kepada kerabat, teman

dan tetangganya. Sebagai refleksi mentertawai diri sendiri.

Hari ini telah mereka lupakan gelisah hidupnya, pekerjaannya, hutangnya,

bahkan mungkin drama politik yang menyeretnya menjadi tersangka sejenak terlupa.

Kemudian sebelum mereka memejamkan matanya di kasur dan memeluk kekasihnya

mereka pun berjanji untuk kembali datang dan mengantri di loket gedung pertunjukan yang sama.

Untuk di hibur lagi oleh sang komedian, mentertawai berbagai sisi kehidupan, dengan celotehan

dan bahasa tubuh, raut wajah yang bersahaja.

Sementara itu sang komedian pulang dengan raut wajah yang sedikit tertekan meski pendapatannya

lebih  dari yang ia kira sebelumnya.

Hari ini ia berjanji datang kepada seseorang yang lama tak jumpa.

Seorang sahabat, guru, kakak, senasib sepenangguan sebelum ia terkenal saat sekarang ini.

Sahabatnya lumpuh, sahabatnya hanya terbaring lemah tak berdaya sebab penyakitnya yang

menahun tak kunjung sembuh.

Di ceritakannya bagaimana hari ini ia telah membuat orang-orang tertawa terbahak-bahak sama

seperti hari-hari sebelumnya.

Tapi temannya hanya diam tak juga berkata apa-apa kecuali linangan air yang keluar dari mata

kanannya.

Di genggam tangan temannya itu, jatuhlah kepalanya ia pun ikut menangis.

Ia enggan untuk pulang ke rumah mewahnya di sana tak ada siapa-siapa kecuali hiasan dan patung-

patung perak penghargaan yang bosan diam terpajang  semu.

Hartanya berlimpah namun tak juga membuatnya bahagia, temannya sepi dan sedikit saja yang mau

mengerti.

Terkadang ia bertanya di dalam hati siapa akan dapat menghiburnya, membuatnya tertawa,

dan melupakan siapa dirinya sebenarnya.

Esok ia mesti tampil kembali dan hari pun telah berganti, hampir tak pernah ia bermimpi.

Skenario apa lagi yang mesti di persembahkan kepada para penggemarnya.

Telah banyak peran yang di mainkannya, sebagai pejabat, dermawan, pemulung  serta peran banci

yang di kejar aparat sebab memprotes hak asasi sudah pula di tampilkan.

Namun ia tak pernah menampilkan tentang dirinya sendiri, tentang kesendiriannya, kejenuhannya ,

bahkan tentang dirinya yang frustasi berumah tangga pun tak pernah ia tampilkan.

Ia pun menutup-nutupi tentang kecanduannya dengan obat-obatan terlarang pelepas sunyi dan

penat setelah beratraksi.

Di hatinya ingin sekali bebas, tak terjerumus lebih jauh dalam kehidupan semu.

Ia hanya ingin bisa tidur nyaman, lelap tanpa di ganggu suara-suara telepon dari sang manajer atau

para  fansnya.

Ia ingin sekali menjadi penonton, membeli karcis, duduk dan tertawa terbahak-bahak.

Namun semua itu hanya impian belaka terlanjur ia tenar dan terkenal meskipun itu mimpinya yang

dulu saat ia susah mencari makan, di hardik orang-orang, dan tinggal nomaden dari kontrakkan ke

kontrakkan.

Tak bisakah waktu kembali untuk diam, ingin sekali ia merencanakan hidupnya menjadi orang biasa

dan bukan seorang komedian.

Cukup menjadi seorang badut di sebuah pesta malam, atau menjadi pegawai pabrik di sebuah

pemintal benang.

Percuma semua itu percuma, ia telah menjadi besar Tuhan telah mengabulkan segala

permintaannya yang dulu saat terkapar.

Lalu ia teringat kepada seorang kawan yang pernah datang dan berkata kepadanya mengapa tidak

kau persembahkan  lawakanmu kepada Tuhan.

Barangkali Tuhan akan senang dan memanggilmu pulang hingga tak lagi kamu kesepian di tengah-

tengah pertunjukan dan kemewahan yang telah kau dapatkan.

Menangislah ia, menangislah sendiri dan di dalam hatinya berkata.

“ Kapan aku bisa tertawa renyah seperti kalian duduk di bangku dan melupakan semua ingatan

yang bebal "

Maka di tuangkanlah whiskey ke dalam gelas kristal, bersandar di sofa empuk kesukaannya yang

paling mahal, di tenggaknya whiskey dengan beberapa butir obat-obat penenang, hening, diam

teramat dalam kesunyian diri melayang-layang.

Berputar-putar segala kenangan, masa kecilnya, keluarganya, ayah ibunya yang tiada, gedung

pertunjukan, para penonton, wajah istrinya serta senyum pahitnya teramat pahit bagi diri untuk

dilumat, temannya  yang sakit meronta entah berkata apa tak juga bisa di cerna lalu muncullah

dirinya dari balik tirai mengenakan jas hitam , celana hitam, dan sepatunya hitam melingkar di

lehernya, kemudian lampu panggung menyala ke arah dirinya.

Ia tersenyum lebar sambil mengangkat tangannya.

“ Iya, ya, ya, ya, sudah sudah cukup tepuk tangannya, kali ini aku ingin bercerita tentang seorang

komedian tenar yang tak lagi bisa membuat orang tertawa sebab ia lumpuh. Hidupnya dulu manis,

kaya, tenar dan terkenal.

Namun kini terbaring di rumah sakit menelan pil-pil pahit, tak bisa ia bicara atau pun tersenyum

kecuali matanya yang berkedip-kedip.

Minta makan kedip kanan, minta minum kedip kiri, mau ke wc kedua matanya di kedipkan dua kali.

Dan kalau dada suster menonjol saat tertunduk memberinya obat matanya terbelalak tak berkedip,

sayang kedua tangannya tak lagi bisa meraba kecuali melambai-lambai artinya ia menyerah

sudah keluar.

“ Iya, ya, ya, ya, tahu tidak kenapa setelan pakaianku hitam-hitam dan sepatuku terpasang melingkar

di leher. Ini cerminan pejabat yang kantornya kebanjiran sebab terlalu sering meneken ijin bangun

apartemen dan mall ujug-ujug ruang hijau di lupakan. Tapi dasar pejabat bisa saja mereka lupakan

ruang hijau namun tak bisa mereka abaikan meja hijau sebab anggaran belanja di kentit di simpan

sendiri di dalam bank.

Penonton pun tertawa, memberi tepuk tangan paling meriah tetapi tiba-tiba lampu panggung mati,

gelap seketika tak ada apa-apa.

Sang komedian menghilang untuk beberapa saat kemudian hadir kembali duduk dan menangis

sendiri, ya sendiri ia menangis.

Di tubuhnya penuh luka, goresan-goresan takdir berkelumit memintal menjadi rangkaian

cerita sedih di balik hidupnya yang serba rupa mewah.

Mulutnya berbusa dan tiba-tiba ia jatuh terlentang dari tempat duduknya.

Hahahahahaha hahahahahahhaha

Para penonton tertawa terpingkal-pingkal melihatnya terjatuh, tubuh sang komedian pun kejang-

kejang. Kembali pecah tawa itu semakin hingar seakan tak ada yang dapat meredam.

Mereka tertawa, tertawa terus hingga tak sadar air mata mereka mengalir dan sesengukan

mengakhiri tawanya. Kemudian hening, diam, gelap.

Pertunjukkan telah usai, sebentar saja tidak seperti biasanya, tirai kain di turunkan.

Di balik tirai sesosok lelaki jatuh terkapar, mulutnya berbusa, kejang-kejang.

Orang-orang satu persatu pergi meninggalkannya sambil membawa candaan yang tadi di suguhkan

serta adegan jatuh sang komedian dari tempat duduknya. Mulutnya berbusa, tubuhnya kejang-

kejang.

Dan ketika sadar ia telah berada di samping teman baiknya, terbaring di atas ranjang dengan

seprei putih beraroma lembut yang tak pernah ia cium sebelumnya.

Ke dua tangannya di pegang erat sambil ia tersenyum lebar, senyum yang tak pernah ia lihat

Sebelumnya dari teman baiknya itu.

“ Di mana aku? Mengapa kamu berdiri di sampingku? Kamu sudah sembuh?

Temannya kembali tersenyum lalu dua matanya pun berkedip tiga kali.

Sang komedian berkata “ sungguh yang itu aku tidak tahu artinya.”

Temannya pun menjawab “ istirahatlah yang tenang, buatlah santai dirimu tapi sebelumnya aku

minta maaf tidak memberi tahu isyarat kedipanku yang terakhir ini sebab bagiku terlalu lucu dan

menggelikan.

“ Istirahatlah kawan di sini semua terasa damai dan tenang, tak ada gelak tawa, tak ada panggung,

tak ada penonton. Bila kamu rindu ingin menghibur, hiburlah dirimu sendiri sebab di sini tidak ada

orang, kecuali Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun