Mohon tunggu...
Handy Pranowo
Handy Pranowo Mohon Tunggu... Lainnya - Love for All Hatred for None

Penjelajah

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Cemas

2 April 2015   14:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:37 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Aku mengendus bau busuk di dalam hatiku.
Bau busuk daging yang terkoyak berlumuran darah,
luka dari masa lalu yang tak kunjung sembuh.
Aku di hantam kecemasan, beribu jalan, beribu kelok jauh telah tertempuh
tidak juga membuatku berpikir kalau kematian akan segera menjemput.

Ada marah, ada hasrat, ada gelisah merayapi denyut nadiku yang lemah.
Mimpi bagai padang pasir tandus tanpa tetes hujan dan aku kehausan mengarunginya.
Lumbung-lumbung air yang ku temukan hanyalah fatamorgana.
Di tengah terik, di tengah letih aku menggigil.

Di mana kamu Tuhan telah ku cari di lorong-lorong bawah jembatan.
Telah ku kejar di antara riuh galau kecemasan.
Dan di rumahmu yang damai hanya ku temukan wajahmu yang muram.
Berdiri terpaku menatap jiwaku yang basah bermandikan nafsu gelora dunia yang semu.
Akal sehatku terkatung-katung rombeng dan bau.
Nuraniku telanjang bersenggama dengan dosa-dosa yang ku pahat di batu.
Menjadi berhala menjadi dewa-dewa yang ku sembah dan ku puja.

Aku kesunyian dalam waktu. Hidup yang teramat singkat ternyata jenuh.
Doa-doa tak lagi menjadi perisai tajam melainkan telah tumpul dan patah.
Tak dapat ku genggam tak dapat
mimpiku tenggelam di telan amuk gelombang tsunami.
Megap-megap mencari ruang nafas, hidungku tersumbat.
Akhirnya aku terkapar di bibir pantai yang sunyi.
Tak ada senja tak ada fajar yang ada hanya gelap meliputi cakrawala.

Tuhan jangan biarkan aku sendiri, menelan pahit getir tanpa penawar susu rahimmu.
Bukankah aku telah kau ciptakan untuk hidup. Untuk tumbuh dan mengenalMu.
Sungguh aku tak berdaya, aku lemah, aku di liputi khilaf.
Ringankan bebanku, ajarkan aku terus bersujud meski waktu yang ku hadapi kini hanya sejengkal dari maut.

handypranowo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun