Simpanlah namaku bila suatu hari nanti kau tak lagi menyebutnya.
Di dalam lembar buku diarymu atau di lipatan waktu yang tak mungkin lagi kau menungguku.
Aku cuma lelaki dalam kurun waktu yang semu menemanimu menulis sajak-sajak rindu.
Tak pernah cinta membayang ke permukaan, tak pernah rindu sekelebat tertuang kecuali hasratku yang liar menempuh lipatan tubuhmu yang gagap telanjang.
Kita hanyalah sepasang kumbang yang tak pernah tahu jalan pulang.
Di mana utara di mana selatan.
Namun kita telah banyak belajar mengarungi waktu,
belajar mengurai kelok jalan yang tak pasti juga di luruskan.
Belajar memahami rindu dan cinta dengan kompas dan arah angin jiwa.
Di mana gelombang-gelombang membentur mengukir kenangan yang gamang.
Dan kecupan terakhirmu terseret arus ke tengah lautan dan tenggelam.
Aku pergi sayang dengan segala kutuk dan mantra-mantra liar.
Sayap-sayap kenangan yang membentang teruslah kau gores dalam puisimu yang panjang.
Entah di mana lagi kita akan bertemu cobalah kau uraikan tiap jengkal jariku yang membelah ranum dadamu.
Hingga berkilatan luka yang koyak serupa halilintar menyambar malam.
Dan kabut yang lunglai terkapar di antara rambutmu yang terurai.
Lalu diam-diam kulangkahkan kakiku sambil ku curi warna pelangi di matamu.
Tetaplah begitu sampai kau temukan pagi yang sejati.
Dan lembut tatap mata lelaki yang ingin mengawinimu hingga akhir hayat nanti.
Selamat tinggal sayang, sampai berjumpa kembali.
30122014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H