[caption id="" align="aligncenter" width="565" caption="Ilustrasi (tribunnews.com)"][/caption]
Akhir-akhir ini saya agak menyangsikan tingkah polah pengendara motor di Indonesia, khususnya di ibu kota tercinta Jakarta. Jika sebelumnya kita sudah muak dengan tradisi pengendara motor mengambil jalur trotoar kini ada tren baru bernama perboden, dan rasanya sedikit lagi tren ini akan mengarah menjadi budaya dalam berkendara motor di Indonesia karena jamaahnya hampir setiap hari bertambah dalam jumlah yang cukup fantastis.
Hal ini jelas membuat kesal sebagian orang, bagaimana tidak, jalan yang seharusnya bukan hak orang lain kemudian diakuisisi dan digunakan tanpa memperhatikan keselamatan orang lain bahkan untuk dirinya sendiri, hal ini tak terjadi sekali dua kali saja dan yang melakukannya jumlahnya kian hari kian bertambah dan hal ini sudah menjurus ke arah mengkhawatirkan.
Padahal hampir saban hari kita bisa menyaksikan di televisi, di surat kabar, di media online banyak terjadi kasus kecelakaan yang menimpa pelaku pengendara motor yang melawan arus seperti yang baru-baru ini terjadi di Jl. I Gusti Ngurah Rai, Buaran, Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (13/5/2014) yang mengakibatkan jatuhnya korban karena ditabrak oleh mobil yang tengah melintas saat itu.
Lantas mengapa masih nekat?
Beberapa faktor penguat selain faktor nekat adalah faktor kemiskinan. Saya yakin alasan klise ini banyak dijadikan acuan utama untuk membenarkan perbuatan seseorang walau hal yang dilakukan adalah salah. Dari sekian banyak insiden kecelakaan antara motor dan mobil siapa yang menang? Siapa yang merasa benar? Banyak yang sepakat bahwa motor yang selalu benar dalam keadaan maupun kondisi apa pun walau nyatanya sang motor yang salah, entah dia menyenggol atau melawan arus.
Contoh nyatanya adalah kejadian tragedi kecelakaan seminggu yang lalu (13/5/2014) yang melibatkan sepeda motor Scoopy warna coklatbernomor polisi B 3806 TLS dengan mobil sedan Hyundai silver bernomor polisi B 1597 TOA. Kejadian bermula dari sang pengendara motor ingin menyeberangi rel kereta dekat Stasiun Klender lamadengan melawan arus, dan dari arah lainnya yakni dari Jatinegara menuju pondok kopi sedang melaju 60 km/jam dan akhirnya kecelakaan pun terjadi.
Akhirnya pengendara motor meninggal di tempat. Sementara pengendara mobil diperiksa pihak kepolisian. Mobil yang dikendarai Austin sempat dirusak warga sekitar lokasi kejadian.
Dari kasus ini siapa yang salah? Dan mengapa mobil dirusak? Bukankah sang pengendara mobil berada di jalur yang benar? Jadi siapa yang salah?
Di sini jelas sudah ada banyak problem yang terjadi, terutama di mental tiap individu masyarakat sekitarnya yang mulai membenarkan tindakan porbeden menjadi sesuatu hal yang lumrah, padahal tindakan tersebut juga merupakan sumbu terjadinya kemacetan, sedangkan kemacetan adalah hal yang paling dibenci di jalan. Kedua apakah karena yang nabrak menggunakan mobil jadi otomatis menjadi terdakwa walau dia berada di jalur yang tepat?
[caption id="" align="aligncenter" width="475" caption="Ilustrasi (tribunnews.com)"]
Budaya gotong-royong yang keliru
Di jalan banyak solidaritas gotong-royong muncul, sayangnya ke arah negatiflah justru solidaritas ini berkembang dengan slogan “Melanggar itu salah, tapi jika yang melanggar banyak menjadi benar” slogan ini menjadi dasar persaudaraan dalam melanggar segala peraturan yang ada.
Padahal sudah jelas hal ini melanggar undang-undang lalu lintas no. 22 tahun 2009. Tepatnya di pasal 106 ayat 4 yakni :
Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mematuhi ketentuan:
a. rambu perintah dan rambu larangan
b. marka jalan
c. alat pemberi isyarat lalu lintas
d. gerakan lalu lintas
e. berhenti dan parkir
f. peringatan dengan bunyi dan sinar
g. kecepatan maksimal atau minimal, dan atau
h. tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.
Di huruf b ada kewajiban mematuhi marka jalan atau rambu-rambu dan jika melanggar marka jalan hukumannya adalah dua bulan kurungan penjara dan denda paling banyak Rp.500.000,00 (lima ratus ribu) sesuai pada pasal 287 ayat 2.s
Saya sendiri menjadi saksi atas pemandangan ganjil ini. Saat pulang kerja ketika shift malam berakhir jam 6 pagi saya sudah melewati jalan Lenteng Agung dan di sinilah banyak terjadi pelanggaran lalu lintas, mereka melawan arus dengan jarak yang cukup fantastis, yakni mulai dari perbatasan Depok-Jakarta (Pintu masuk UI) sampai Pasar Minggu tetunya melewati jalur Lenteng agung. Dan dengan santainya mereka memacu kendaraan seolah-olah merupakan jalur yang sah, bahkan terkadang mereka malah marah jika jalur yang mereka lewati ini diambil oleh pengendara yang memang berada di jalur yang benar.
[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi (tribunnews.com)"]
Polisi ke mana?
Tanpa memandang buruk kepada petugas ketertiban atau yang biasa kita sebut sehari-hari polisi, nyatanya Pak polisi dikenal lamban dalam menjalankan amanah kerja. Ya saya tahu harusnya kesadaran berlalu lintas itu timbul dari tiap individu, tak perlu ada pak polisi untuk bisa tertib namun nyatanya kehadiranbapak polisi di lalu lintas mutlak perlu, minimal bisa mengurangi arus aroganisasi pengendara motor yang makin hari makin sulit diatur.
Bukannya para pelanggar bisa dijadikan komoditas empuk untuk ditilang, apalagi jika jumlahnya banyak, wah bisa panen raya kan? Saya melihat polisi-polisi yang bertugas di sepanjang jalan Lenteng Agung itu hanya diam pasrah melihat ratusan motor yang lalu-lalang dengan gagahnya seperti menantangsambil berkata, "Ayo pak, Kita ngelanggar nih, ayo dong tangkep." Saya Penulis menyadari bahwa dirinya bukanlah orang suci, penulis juga merupakan salah satu residivis dari penyakit sosial ini,hanya penulis memiliki keinginan kuat untuk lepas dari sikap tidak baik ini. Perlu adanya ketegasan daribapak aparat di jalan serta kesadaran individu agar setidaknya berusaha tertib. Meminjam istilah teman "kita ini sama-sama cari nasi" jadi tertiblah. Malu kalo adabule melihat hal ini dan diceritakan keadaan lalu lintas kita di negaranya seolah-olah negara kita kena wabah hedonisme.
Sumber Bacaan dan ilustasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H