Mohon tunggu...
Handy Fernandy
Handy Fernandy Mohon Tunggu... Dosen - Pelaku Industri Kreatif

Dosen Sistem Informasi Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (Unusia) Pengurus Yayasan Gerakan Indonesia Sadar Bencana (Graisena)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Mahalnya Sebuah Ideologi

11 Februari 2020   01:15 Diperbarui: 11 Februari 2020   09:03 845
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belakangan, timeline saya dihujani pro-kontra terkait nasib wacana Pemerintah Indonesia untuk memulangkan sebanyak, kurang lebih 600 WNI (atau Anda bisa sebut ex-WNI) yang kumpul di kamp pengungsian lantaran ideologi khilafah yang diusung oleh Abu Bakar Al-Bhagdadi lewat bendera bernama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) itu kini sudah divonis koma per Maret 2019 lalu.

Pun yang tersisa sudah terpojok dan terpencar di beberapa wilayah di daerah Suriah dan dianggap tinggal menunggu waktu untuk "dikubur hidup-hidup".

Banyak yang menginginkan agar WNI yang berdaulah kepada ISIS tidak perlu dirangkul kembali oleh pemerintah karena mereka dianggap sudah kehilangan status kewarganegaraan. Bahkan beberapa ada yang secara sadar dan sukarela melenyapkan paspor, bukti pengkhianatan kepada negara.

Tak heran, pilihan ini sebagai opsi mayoritas, bahkan ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), lewat ketuanya, KH Said Aqil Siroj dengan tegas tidak menyetujui rencana pemerintah untuk memulangkan eks anggota ISIS.

"Saya tolak, saya tidak setuju. Mereka sudah meninggalkan negara, sudah membakar paspornya, sudah mengatakan kita ini thogut, terutama NU, anshorut thogut, pendukung thogut," tegas Kiai Said seperti dikutip dari laman resmi NU, Sabtu (8/2/2020).

Meski demikian, meski terdengar samar. Ada juga yang mendukung pemerintah untuk bisa memulangkan WNI ke Indonesia. 

Selain atas nama HAM, adapula yang menilai tak semua eks ISIS setuju dengan apa yang dilakukan oleh ISIS -terutama sayap militernya- karena latar belakang dari keterlibatan di mana banyak yang hanya sekedar korban, paling nyata adalah anak-anak yang "terpaksa" ikut orang tua dan tidak tahu menahu soal ISIS dan tetek bengeknya.

Seperti Nada Fedulla, yang profilnya diangkat oleh BBC di mana ia diajak ayahnya ke Suriah tanpa ia tahu akan bergabung bersama organisasi yang mendapatkan label teroris secara serentak pada tahun 2014 lalu itu.

"Saat masih sekolah, saya bercita-cita menjadi dokter dan saya sangat senang belajar," kata Nada kepada BBC.

Indonesia sendiri, dalam ensiklopedia sejarah adalah negara yang cukup gagap terkait HAM di mana lebih banyak dihiasi oleh jalan pedang dan berdarah. Bahkan setiap rezim memiliki catatan hitam yang jadi tinta untuk menulis buku sejarah yang kita baca hari ini.

Bahkan, untuk menghilangkan sebuah ideologi, harga mahal harus dibayar bangsa ini dengan ingatan kelam. Contohnya, korban penuntasan simpatisan PKI menurut data Komnas HAM berkisar 500 ribu hingga 3 juta jiwa naas jadi korban, baik yang diadili terlebih dahulu atau tidak, baik yang hanya simpatisan atau pelaku utama. Semua dipukul rata, hanya kematian jadi penebus dosa. Hingga hari ini.

Saya berkesimpulan, pemerintah punya agenda deradikalisasi, saya juga yakin pemerintah memiliki niatan mulia "mengkuduskan" kembali mereka yang tersesat untuk bisa kembali pulang ke rahim pertiwi.

Namun, sejarah mungkin tidak memihak kali ini. Masyarakat sudah kadung marah, kebencian sudah terlanjur hadir lebih dahulu. Ini juga berakar dari ISIS menawarkan ketakutan seantero jagat lewat aksi radikal yang mereka lancarkan di masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun