dokpri.
Kasus Papa Minta Saham yang mencatut nama Ketua DPR RI Setya Novanto memulai babak baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) memulai penyidikan terhadap dirinya dalam kasus kontrak karya tambang PT Freeport di Indonesia.
Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan, saat ini pihaknya sedang mengumpulkan bukti-bukti terkait kasus yang mencatut beberapa nama-nama tokoh petinggi di republik ini. Kejagung tengah menguji apakah benar isi rekaman tersebut merupakan suara dari Setya Novanto. Hal ini dilakukan karena banyaknya tekanan dari masyarakat untuk mengusut kasus ini.
Usut punya usut, ucapan Setya Novanto bisa masuk ke ranah pidana, yakni tindak permufakatan jahat. Hal ini telah diatur dalam undang-undang Tindak Pidanan Korupsi (Tipikor) sebagaimana tercantum dalam pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal tersebut dengan tegas menyatakan “Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.” (Lebih jelasnya bisa anda lihat di sini).
Hal itu berarti, meskipun Setya Novanto belum melakukan tindak pidana korupsi, tetapi melalui tindakan dan ucapan dan yang dilakukan meskipun baru berupa niat untuk melakukan hal tersebut (korupsi) dapat dipidana.
"Saat ini yang jelas masih penyelidikan. Tentang permufakatan jahat sendiri kan ada di hukum positif dan itu diatur dalam undang-undang," ungkap H.M. Prasetyo seperti yang dikutip dari Detik.
Kasus ini bermula dari pelaporan Menteri ESDM Sudirman Said ke ke Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR karena Setya Novanto mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden pada pertemuannya dengan Direksi Freeport McMoran.
Dalam pertemuan tersebut, Setya Novanto meminta sejumlah saham Freeport sebagai imbalan dalam rangka memuluskan negosiasi perpanjangan kontrak untuk pengelolaan tambang di bumi papua tersebut.
Kader Golkar tersebut telah memanfaatkan posisinya sebagai ketua DPR untuk kepentingan pribadi. Belum lagi pencatutan nama Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang juga terancam pasal pencemaran nama baik.
Bersih-bersih DPR