Namaku Doni, kini usiaku sudah 11 tahun. Aku lahir disebuah desa yang sangat asri dan penduduknya sangat bersahabat. Disertai semua keindahan dan kedamaian alamnya.
Namun, keindahan dan kedamaian itu tak selaras dengan kehidupanku. Ketika usiaku baru beranjak dua tahun, aku telah ditinggal oleh ayahku untuk selamanya. Hingga tinggal ibu sendiri yang harus bekerja banting tulang untuk makan kami sehari – hari. Hari berganti hari, minggu berganti bulan, dan tahun berrganti – tahun. Selama ini kami melalui semuanya dengansegala kesederhanaan, yang mungkin lebih pantas disebut dengan kekurangan.
Tak terasa usiaku makin bertambah. Sering aku kasihan melihat ibu yang kian tua namun masih harus bersusah payah bekerja serabutan setiap hari demi aku. Hingga suatu malam, ketika ibu harus bersusah payah bekerja serabutan setiap hari demi aku.
“Bu, memangnya kenapa dulu ayah bisa meninggal?” Celetukku untuk mengisi sepinya malam.
Sambil menghela nafasnya, ibu menjawab “Doni, ayahmu dulu meninggal karena sakit, nak.”
“Sakit apa bu? Tidakkah ayah berobat ke rumah sakit?” Tanyaku.
“Doni anakku, dulu ayahmu tak pernah mengeluh sama sekali. Bahkan ia tidak pernah memberi tahu ibu, nak. Ia juga selalu bertingkah seolah – olah dia tetap sehat. Hingga akhirnya, menjelang kematiannya, ayahmu mengatakan bahwa sebenarnya sudah lama ia sering merasa sakit di dada kirinya. Dia tahu dia memiliki penyakit jantung, namun ia tidak mau memberi tahu karena tidak ingin membuat ibu maupun engkau khawatir nak. Lalu, pada hari itu, ayahmu pergi meninggalkan kita dengan penyakitnya yang tak sanggup diobati.” Ujar ibu dengan matanya yang sayu.
Kulihat mata ibu mulai berkaca – kaca dan akhirnya air matanya mulai menetes.
“Maafkan Doni bu, aku sudah membuatmu sedih.” Ujarku dengan air mata yang mulai menetes.