Mohon tunggu...
Handy Ferdian
Handy Ferdian Mohon Tunggu... -

Hanya murid biasa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kali Kedua

24 Maret 2017   20:29 Diperbarui: 24 Maret 2017   20:45 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namaku Doni, kini usiaku sudah 11 tahun. Aku lahir disebuah desa yang sangat asri dan penduduknya sangat bersahabat. Disertai semua keindahan dan kedamaian alamnya.

                                      

Namun, keindahan dan kedamaian itu tak selaras dengan kehidupanku. Ketika usiaku baru beranjak dua tahun, aku telah ditinggal oleh ayahku untuk selamanya. Hingga tinggal ibu sendiri yang harus bekerja banting tulang untuk makan kami sehari – hari. Hari berganti hari, minggu berganti bulan, dan tahun berrganti – tahun. Selama ini kami melalui semuanya dengansegala kesederhanaan, yang mungkin lebih pantas disebut dengan kekurangan.

Tak terasa usiaku makin bertambah. Sering aku kasihan melihat ibu yang kian tua namun masih harus bersusah payah bekerja serabutan setiap hari demi aku. Hingga suatu malam, ketika ibu harus bersusah payah bekerja serabutan setiap hari demi aku.

               

“Bu, memangnya kenapa dulu ayah bisa meninggal?” Celetukku untuk mengisi sepinya malam.

Sambil menghela nafasnya, ibu menjawab “Doni, ayahmu dulu meninggal karena sakit, nak.”

“Sakit apa bu? Tidakkah ayah berobat ke rumah sakit?” Tanyaku.

“Doni anakku, dulu ayahmu tak pernah mengeluh sama sekali. Bahkan ia tidak pernah memberi tahu ibu, nak. Ia juga selalu bertingkah seolah – olah dia tetap sehat. Hingga akhirnya, menjelang kematiannya, ayahmu mengatakan bahwa sebenarnya sudah lama ia sering merasa sakit di dada kirinya. Dia tahu dia memiliki penyakit jantung, namun ia tidak mau memberi tahu karena tidak ingin membuat ibu maupun engkau khawatir nak. Lalu, pada hari itu, ayahmu pergi meninggalkan kita dengan penyakitnya yang tak sanggup diobati.” Ujar ibu dengan matanya yang sayu.

Kulihat mata ibu mulai berkaca – kaca dan akhirnya air matanya mulai menetes.

“Maafkan Doni bu, aku sudah membuatmu sedih.” Ujarku dengan air mata yang mulai menetes.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun