Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tragedi Mina, Meluruskan pemahaman tentang melempar Jumroh

25 September 2015   09:57 Diperbarui: 25 September 2015   17:13 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Setannya dilemparin batu sih, jadi setannya melawan” – kurang lebih komentar terhadap #TragediMina dari sebuah akun perseorangan dengan memention akun resmi sebuah lembaga melintas di layar HP saya. Tertegun. Namun akhirnya tersenyum, mencoba memaklumi. Terkadang keketidaktahuan diri menyebabkan kita dengan mudah berkomentar sekehendak hati terhadap sebuah peristiwa.

Bagaimana asal muasal lempar jumroh disebut melempar setan? Mengutip Ahmad Anshori, ternyata berasal dari kisah yang dialami Nabi Ibrahim yang diriwayatkan  Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma. Diriwayatkan  Ibnu Abbas radhiyallallahu’anhuma : “Ketika Ibrahim kekasih Allah melakukan ibadah haji, tiba-tiba Iblis menampakkan diri di hadapan beliau di jumrah’Aqobah. Lalu Ibrahim melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah . Iblis itu menampakkan dirinya kembali di jumrah yang kedua. Lalu Ibrahim melempari setan itu kembali dengan tujuh kerikil, hingga iblis itupun masuk ke tanah. Kemudian Iblis menampakkan dirinya kembali di jumrah ketiga. Lalu Ibrahim pun melempari setan itu dengan tujuh kerikil, hingga iblis itu masuk ke tanah.”

Ibnu Abbas kemudian mengatakan,” Kalian merajam setan, bersamaan dengan itu (dengan melempar jumrah) kalian mengikuti agama ayah kalian Ibrahim.”

Dari sisi sanad riwayat di atas tidak ada masalah; status sanadnya shahih. Kisah di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, beliau berdua menshahihkan riwayat ini. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib (2/17), hadits nomor 1156.

Hanya saja orang-orang keliru dalam memahami perkataan Ibnu Abbas di atas. Menurut mereka makna “merajam” dalam perkataan tersebut adalah melempari setan secara konkrit. Artinya saat melempar jumrah, setan benar-benar sedang terikat di tugu jumrah dan merasa tersiksa dengan batu-batu lemparan yang mengenai tubuhnya.

Padahal bukan demikian yang dimaksudkan oleh Ibnu Abbas dalam perkataan beliau. Merajam setan di sini tidak dimaknai makna konkrit, akantetapi yang benar adalah makna abstrak. Artinya setan merasakan sakit dan terhina bila melihat seorang mukmin mengingat Allah dan taat menjalankan perintah Allah. Dalam pernyataan Ibnu Abbas diungkapkan dengan istilah “merajam setan”. Demikianlah yang dimaksudkan Ibnu Abbas dalam perkataannya tersebut.

Hal ini dapat diketahui dari firman Allah ta’ala, “Dan berdzikirlah kepada Allah pada hari yang telah ditentukan jumlahnya. Barang siapa berangkat (meninggalkan Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Ban brang siapa mengakhirkannya tiada dosa pula baginya, (yakni) bagi orang yang bertakwa. Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa kamu akan dikumpulkanNya.” (Al Baqarah: 203).

Demikian pula ditegaskan dalam sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam, “Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.” (HR. Abu Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth)

Setelah menyampaikan hadits ini, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Inilah hikmah dari ibadah melempar jumrah. Oleh karena itu, (saat melempar jumrah) orang-orang bertakbir di setiap lemparan, mereka tidak mengucapkan,

“A’uudzubillahi minasy syaithanir rajiim” (kuberlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk).

Mereka justeru bertakbir,”Allahu akbar”, sebagai bentuk pengagungan kepada Allah yang telah mensyariatkan ibadah melempar jumrah.” (Majmu’ Fatawa War Rasaa-il Ibni ‘Utsaimin, 3/133)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun