"Co-pilot tidak melaksanakan prosedur perusahaan untuk mengambil alih kendali pesawat dari pilot in command pada saat pilot in command berkali-kali mengabaikan peringatan dari GPWS"
Begitu salah satu bunyi laporan KNKT dalam analisanya tentang kecelakaan yang menimpa GA 200 di bandara Adi Sucipto.
Yup, laksana sebuah penerbangan, ada kalanya dalam menjalankan biduk rumah tangga suami selaku pilot in command berkali-kali mengabaikan aturan baku yang sudah ditetapkan. Andai saja ada peringatan dari GPWS pasti akan lebih mudah untuk mengetahui ketidaktepatan dalam menjalani biduk rumah tangga tentunya. Lantas bagaimana pula seorang istri yang serupa dengan seorang co-pilot harus bersikap ? Haruskah ia mengambil alih kendali pesawat dari pilot in command ?
Tentu tidaklah semudah itu. Dalam dunia penerbangan sekalipun, pada saat kondisi kritis seorang co-pilot tidak dapat begitu saja mengambil alih kendali. Penyebabnya jelas, hubungan antara pilot in command dan co-pilot adalah hubungan sub-ordinasi.
Begitu pula dalam Islam. Sekalipun seorang suami berkali-kali mengabaikan perintah misalnya, seorang istri selaku co-pilot tidak bisa serta merta mengambil alih kendali rumah tangga mengantikan suami. Hal terbaik yang dapat dilakukan seorang istri sebagai co-pilot adalah mengingatkan suaminya sebagai pilot in command dan menjelaskan detail situasi dan kondisi mulai dari cuaca, kecepatan angin, kemungkinan turbulensi, navigasi dan berbagai hal lain penting lainnya yang terkait dengan penerbangan sehingga suami sebagai pilot in command dapat mengambil keputusan yang tepat.
Bagaimana cara menyampaikan peringatan yang tepat kepada suami selaku pilot in command ? Belajar dari kasus tragedi GA 200 ada kalanya seorang pilot in - command memiliki karakter yang "stuborn" alias keras kepala. "Perlakukan seseorang sebagaimana Anda ingin diperlakukan" begitu sabda Rasulullah. Kelemahlembutan adalah fitrah yang akan selalu membawa kepada kebaikan sebagaimana sabda Rasulullah, "Sesungguhnya, kelemahlembutan itu apabila ada pada sesuatu, ia akan menghiasinya namun apabila tercabut dari sesuatu, ia akan memburukkannya". Karena itu dalam penerbangan, pilot in command dan co-pilot biasanya memiliki waktu beberapa saat untuk saling berinteraksi lebih dahulu sebelum menjalankan tugas bersama-sama untuk menerbangkan pesawat di ketinggian.
Belajar dari tragedi GA 200, seorang suami sebagai seorang pilot in command yang baik tentunya harus bersedia mendengarkan peringatan dari istri selaku co-pilot agar jangan sampai terjadi tragedi yang tidak diinginkan.
Hal yang harus diingat adalah ibarat seorang co-pilot, tugas istri kepada suami dalam sebuah penerbangan menuju keluarga sakinah mawadah warrahmah adalah
Pertama, menjadi teman setia pilot in command. saat pilot in command bertugas, co-pilot tidak bisa seenaknya saja tidur. co-pilot harus pandai-pandai membuat pilot tidak bosan dan mengantuk sehingga dapat membahayakan penerbangan hehe.. Bahkan jangan coba-coba sebagai seorang co-pilot kita berangkat duluan meninggalkan pilot in command bisa kena teguran keras
Kedua, menjadi navigator. Laksa seorang co-pilot seorang istri haruslah paham rute-rute yang ditempuh termasuk memahami bahaya-bahaya yang kemungkinan akan dihadapi seperti seberapa kemungkinan terjadinya turbulensi. Co-pilot harus menjelaskan detail kepada pilot in command.
Ketiga, menjadi penyedia dan penjamin hal-hal yang menjadi keperluan pilot in command. Jadi senyam senyum sendiri membayangkan ribetnya jadi co-pilot benar-benar seperti itulah seorang istri seharusnya.