Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demo Anarkis Mahasiswa

29 Oktober 2015   08:48 Diperbarui: 29 Oktober 2015   09:04 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Demo anarkis mahasiswa dari kemarin hingga hari ini pemberitaannya menghiasi layar televisi kita terus menerus. Tak hanya di Makasar, Jakarta bahkan di daerah-daerah.

Demo anarkis tersebut mengiring satu ingatan masa lampau.  Dulu.. dulu sekali.. bersama teman-teman kami berkumpul dan membahas dengan seksama rencana aksi dengan detail termasuk tindakan yang harus diambil bersama dalam situasi kritis misalnya mendadak terjadi kericuhan saat berdemonstrasi. Hal yang sangat menjadi konsen perhatian kami adalah "pagar betis" intinya kami harus benar-benar mewaspadai provokator yang tiba-tiba mengajak massa untuk anarkis. Sikap yang harus kami ambil jelas - menarik orang tersebut agar lepas dari rombongan untuk dikawal secara khusus.

Namun itu dulu, saat kami - mahasiswa dan mahasiswi dapat pembebasan SPP serta beasiswa bagi yang memiliki IPK diatas 3. Uang pangkal masuk kuliah pun tidak ada. Proses pengurusannya pun amat mudah cukup menyampaikan fotokopi nilai IPK dan surat rekomendasi Dekan ke Tata Usaha.  Berikutnya kami langsung surat pembebasan SPP dan untuk beasiswa diberi buku tabungan yang didalamnya terlihat transferan dana beasiswa. Kondisi tersebut membuat kami mampu waspada tergadap segala macam provokasi dari luar.

Kini.. bisa jadi para mahasiswa dan mahasiswi harus mampu menghadapi provokasi yang bersumber dalam diri sendiri.. entah berapa besar uang kuliah yang harus disiapkan para orang tua atau bahkan para mahasiswa dan mahasiswi itu pun harus mampu menghidupi diri sendiri ketika kesulitan ekonomi mendadak melilit para orang tua mereka.. Mengapa pikiran saya mengarah kesana? Karena sebuah percakapan singkat dalam keseharian sebagai ibu dari tiga orang anak.

"Enaknya SMA atau SMK ya Ma? Kalau SMA kan harus kuliah. Khawatirnya sudah mahal-mahal kuliah lapangan pekerjaan cuma sedikit, terus kita harus bersaing dengan orang-orang dari luar negeri. Kita kan mutu pendidikannya kalah jauh Ma.." cerocos si Anak Sulung yang sudah duduk di bangku IX (kelas 2 SMP).

Wah.. sepertinya kebanyakan nonton berita TV nih!, spontan kata batin saya.

"Bukan begitu seharusnya pola pikir Kakak dalam mempertimbangkan pilihan-pilihan. Disederhanakan saja. Soal tersedianya lapangan kerja itu urusan pemerintah - jadi kunci diluar dulu saja. Tugas kakak dalam memilih langkah ke depan cukup pada pertimbangan apa pontensi terbesar kakak. Baru kemudian dibarengi pertimbangan bidang apa yang kakak sukai." 

"Nah baru kakak lihat jalurnya ada di perguruan tinggi atau cukup di SMK,"imbuh saya.

"Kuliah kan mahal Ma..apa ga sebaiknya SMK saja?" cetus si bocah.

"Kalau kuliah kedokteran mahal ya Ma? Kemarin denger cerita dari eyang dokter mahal banget ya Ma. Mbak Iza dan Nisa aja yang papanya dokter kaya saja kerepotan. kira-kira Mama ada uang ga? kalau kira-kira mama ga ada uang kan berarti harus nabung dari sekarang ya Ma," timbrung si anak no.2

Si Mama pun nyaris menangis. Ternyata itulah potret kecemasan generasi muda saat ini....mahalnya biaya pendidikan. Kecemasan Generasi Muda yang harus kita cerna bersama..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun