Ecomuseum adalah sebuah museum yang difokuskan pada sebuah tempat yang menjadi identitas warisan budaya. Setidaknya lebih dari 300 pusat ecomuseum di seluruh dunia yang tersebar terutama di Perancis, Spanyol, Polandia, Italia dan tentu saja di Indonesia. Istilah ecomuseum pertama kali diperkenalkan oleh museologis Perancis Hugues De Varine pada tahun 1971 yang kemudian terus berkembang hingga saat ini. Meski masih ada perdebatan tentang definisi ecomuseum, namun yang pasti ecomuseum merupakan sebuah media penting dimana masyarakat dapat mengenal dan sekaligus turut melestarikan warisan budaya yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal didalamnya.
Salah satu ecomuseum di Indonesia terletak di Jakarta. Komplek bangunan yang terletak di jalan utama Jakarta tersebut akrab dikenal dengan sebutan “rumah rakyat” atau “gedung DPR” meski tentu didalam komplek itu ada tiga lembaga yang mewakili kekuasaan legislatif di Indonesia yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karenanya kerap disebut juga dengan komplek Parlemen. Apa saja yang terdapat di ecomuseum DPR? Berikut ulasannya.. selamat mengembarakan imaji..
Pertama, tentu gedung DPR itu sendiri. Pada awalnya gedung DPR ini dirancang untuk kepentingan proyek Conefo. Conefo singkatan dari Confrence of the New Emerging Forces (Conefo). Sekedar mengingatkan, Conefo adalah gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi 2 kekuatan blok sebelumnya (Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat). Conefo didirikan pada tanggal 7 Januari 1965 karena Malaysia dijadikan sebagai Anggota Dewan Keamanan Tidak Tetap Perseikatan Bangsa-Bangsa padahal pada saat itu Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Soekarno marah dan mengeluarkan indonesia dari PBB dan mendirikan Conefo. Namun pada tanggal 11 Agustus 1966 Conefo dibubarkan oleh Soeharto.
Gedung DPR yang awalnya dirancang oleh Soejoedi Wirjoatmodjo – seorang pejuang yang sempat terjun langsung ke medan pertempuran bergabung bersama gerilyawan dalam Kesatuan Tentara Pelajar dan pernah dipercaya sebagai Kepala Staf Tentara Pelajar Brigade 17 Detasemen II Rayon V, Solo. Setelah pengakuan kedaulatan, Soejoedi keluar dari militer dan melanjutkan pendidikannya di Fakultas Teknik Bagian Arsitektur di Universitas Indonesia yang saat ini menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Soejoedi sempat mendapat beasiswa dari Pemerintah Perancis untuk melanjutkan studi di Ecole Superieure National Des Beaux Arts di Paris.
Rancangan Soejoedi terpilih dalam sayembara yang diadakan untuk merancang Gedung Conefo yang mempersyaratkan ditampilkannya karya cipta yang bercirikan Indonesia di panggung rancang bangun dunia. Gedung Conefo tersebut bercirikan kepribadian Indonesia yang digambarkan senantiasa akrab dalam menyambut tamu yang diwakili oleh ruang luas dibagian depan. Ciri khas lain yang diwakili gedung DPR adalah kehangatan yang merupakan ciri khas kepribadian Indonesia. Keramahan dan terbuka lebar juga diwakili oleh tangga lebar yang langsung menuju ruang sidang utama tanpa harus melewati gangguan apapun. Pada konsep rancangan awalnya, gedung tersebut direncanakan ada danau buatan di depannya (serupa Canberra – rasanya) lengkap dengan mall atau pusat perbelanjaan yang disebut Friendship mall.
Ada kisah unik dibalik gedung utama yang saat ini disebut Gedung Nusantara yang kerap disimboliskan seperti dua sayap garuda. Pada awalnya dalam konsep awal rancang bangun gedung utama berbentuk rumah kerang atau dome yang ditelungkupkan. Pengerjaan gedung utama yang berat melibatkan Ir. Sutami sebagai insiyur teknik sipil dan ahli struktur bangunan.
Dibantu oleh Ir. Nurpontjo, staf Ir. Sutami pun mulai membuat maket gedung utama. Pada saat mengerjakan maket kubah gedung utama, karena muncul keriput tepat dipuncak kubah, Nurpontjo mengergaji menjadi dua maket kubah itu agar ketika disatukan tidak ada keriput. Namun keesokan harinya Soejoedi berkunjung dan mereka-reka jika kedua potongan maket kubah itu disatukan dan ujungnya diangkat sedikit menyerupai dua sayap pesawat.
Soejoedi kemudian bertanya kepada Ir. Sutami tentang kekuatan struktur bangunan kubah dengan design baruitu. Ir. Sutami menjelaskan tidak ada halangan teknis. Struktur kubah yang baru akan dibuat sesuai dengan prinsip membuat sayap yang menempel di badan pesawat terbang dengan mengunakan prinsip struktur cantilever. Sekedar catatan cantilever itu adalah bentuk struktur seperti batang dimana salah satu sisi fix, sedangkan sisi lain menggantung bebas.
Kembali pada sejarah ecomuseum DPR, dapat dikatakan gedung DPR menjadi saksi sejarah upaya pemerintah Indonesia mempelopori perombakan organisasi PBB dengan melahirkan Conefo yang berhadapan langsung dengan PBB. Conefo itu sendiri diharapkan menjadi langkah awal membentuk tata dunia baru. Tak tanggung-tanggung, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan Presiden RI No.48 Tahun 19645 yang berisikan penugasan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) untuk melaksanakan pembangunan gedung Conefo yang merupakan proyek political venue tersebut. Dasar pertimbangan pembangunan gedung Conefo itu juga ditegaskan dalam surat keputusan tersebut sebagai berikut: "...untuk kepentingan penyelenggaraan konperensi-konperensi internasional di bidang politik dalam rangka pengalangan persatuan bangsa-bangsa, terutama di negara-negara The New Emerging Forces, perlu dibangun political venue di Jakarta, (Indonesia), yang sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Sejumlah kepala negara sahabat pun turut serta melakukan pemancangan tiang pertama gedung Conefo pada 19 April 1965. Pemancangan tiang pertama gedung Conefo tersebut dilakukan dengan diawali upacara meriah yang dihadiri berbagai perwakilan negara-negara sahabat tepatnya pada peringatan ulang tahun ke-10 Konfrensi Asia Afrika.