Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Anak Jenderal" dan Kejamnya Penghakiman Publik di Media Sosial

8 April 2016   13:28 Diperbarui: 8 April 2016   13:48 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sonya Ekarina Sembiring Depari (SE) adalah seorang peelajar SMA yang saat ini sedang menjadi "bulan-bulanan" di sejumlah media sosial maupun objek pemberitaan di berbagai media massa. Tak bisa dipungkiri, serangan cemoohan tersebut adalah akibat dari tindakan Sonya sendiri, yang menurut sebagian besar pencemooh, sangat tidak pantas, tidak sopan, memalukan dan sebagainya, terlebih karena dia juga telah berbohong dengan mengaku sebagai anak seorang jenderal polisi.

Tak terasa kedua mata saya memanas membaca berita demi berita tentang SE. Tak hanya karena membaca berita tentang meninggalnya ayah kandung SE, Makmur Depari, jatuh sakit setelah mendengar kabar prilaku anaknya yang kurang mengenakkan, sehingga membuat dirinya didatangi aparat kepolisian, namun juga sesak merasakan betapa kejamnya penghakiman publik yang dilakukan di media sosial. Sebagai seorang ibu, beberapa kali saya menemukan kasus serupa dari teman-teman anak-anak saya. Anak-anak saya kerap bercerita tentang "bualan" teman-temannya yang mengaku-aku hal yang serupa dengan yang dilakukan SE.

Kasus SE ini mencuat di media sosial dan pemberitaan sejumlah media. Dari fakta yang diungkap, kejadian bermula dari SE yang  marah-marah kepada Ipda Perida Panjaitan saat mobil yang membawa dia dan teman-temannya dihentikan karena konvoi, seusai ujian nasional, Rabu (6/4/2016). Mobil Honda Brio yang berisikan sekitar tujuh siswi itu diberhentikan di Jalan Sudirman dekat Hotel Polonia karena kap belakangnya sengaja dibuka. Namun, saat mobil diberhentikan dan para penumpang diminta turun, SE marah-marah. Bahkan SE mengaku sebagai anak Irjen Arman Depari, Deputi Penindakan BNN. Dengan besar hati, Arman Depari mengakui, SE merupakan keponakannya. "Memang betul, (Sonya) anak saudara saya," kata Arman Depari, Kamis (7/4/2016). Bahkan Arman meminta maaf kepada Polri dan masyarakat. Permintaan maaf ini disampaikan atas tindakan yang dilakukan oleh SE.

Kasus "anak jenderal" ini menyadarkan kepada kita semua betapa kejamnya penghakiman publik di media sosial. Penghakiman publik di media sosial ini mengingatkan saya kepada teori jarum hipodermik atau teori peluru. Teori jarum hipodermik meyakini bahwa media massa yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah,dan segera. Kondisi inilah yang kerap kita alami di media sosial. Betapa khalayak yang tersebar dan tidak berhubungan seolah dengan segera memiliki satu penghakiman yang sama terhadap satu kasus. Sangat sulit melakukan pembelaan apabila di ruang publik yang ada di media sosial telah memutuskan bahwa kita bersalah. Tanpa menelisik kembali penyebab kesalahan itu dilakukan, segera vonis dijatuhkan.

Peringatan keras juga tertuju kepada kita semua orang tua dan seluruh elemen pendidikan yang ada, betapa masalah etika menjadi pekerjaan rumah yang kedodoran. Menelaah bahasa dan perilaku yang dilakukan SE saat berkata "Oke Bu, saya tidak main-main ya, saya tandai Ibu. Saya anak Arman Depari," sambil menunjuk-nunjuk Ipda Perida Panjaitan. Perilaku tersebut menyadarkan kita untuk secara cermat melihat kembali kurikulum pendidikan menengah kita. Revolusi mental? Bagaimana kita bisa mengejar mimpi besar itu jika kita tidak bersedia secara cermat menelaah berbagai rangkaian langkah yang perlu kita jalin dan kita tekuni secara cermat? Salah satunya adalah melihat kembali fokus pendidikan yang kita bangun. Pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang berkarakter adi luhung ataukah generasi muda yang lalai akan etika?

Sebagai seorang Ibu, sangat sulit bagi saya untuk menunjuk ini sebagai ketidaktahuan aturan seorang anak baru gede (ABG) belaka. Sebagai seorang ibu akhirnya saya menyadari betapa terpukulnya seorang ayah - yang merasa bertanggungjawab penuh pada setiap perilaku anak-anaknya. Betapa beratnya tanggungjawab yang harus dipikul seorang ayah dan seorang ibu ketika anak-anak mereka melakukan kesalahan dan kesalahan itu tersebar luas berantai melalui media sosial. Penghukuman publik sungguh luar biasa. Padahal, jika kita mau melihat lebih dalam, kita semua ikut andil dalam terjadinya pergeseran moral dan etika generasi muda kita.

Tayangan-tayangan sinetron yang masih sangat jauh dari kategori tayangan mendidik, hingga sangat minimnya bobot muatan pendidikan etika dalam kurikulum pendidikan kita menjadi satu PR besar utama bagi bangsa. SE adalah salah satu contoh dari sekian banyak generasi muda Indonesia yang menjadi korban kurang cermatnya kita dalam mengelola konsep pendidikan kita. Semoga catatan keprihatinan seorang ibu ini dapat memberikan sedikit pencerahan agar para pihak yang memiliki kewenangan bersedia bersusah payah untuk menelaah, meneliti bobot pendidikan etika yang sesuai dengan kadar kebutuhan kita. Dalam sudut pandang seorang Ibu, saya melihat, bobot muatan etika dalam pendidikan kita perlu untuk ditingkatkan dari segi kuantitas maupun kualitasnya untuk mengejar PR melakukan revolusi mental guna mengembalikan ke-adi luhungan- sifat bangsa Indonesia. Model-model pendidikan juga harus ditelisik secara cermat. Pesatnya perkembangan global dan dahsyatnya tantangan yang ada, membuat model-model pendidikan yang konvensional sudah harus segera ditinggalkan. Kesesuaian antara usia anak didik dengan segala macam psikologi perkembangan anak juga perlu disikapi secara bijaksana guna menemukan model-model komunikasi yang tepat dalam metode pembelajaran dalam pendidikan kita.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun