Dua hari yang lalu, saya kaget melihat putri kedua kami tidak seperti biasanya. Laksana seorang yang habis kalah berperang, putri kami tampak lesu dan terlihat begitu kecewa. Putri kedua kami bersifat introvert, jadi sebagai ibu harus ekstra hati-hati menanyakan penyebabnya.
Tak cukup hanya ditanya biasa, melainkan harus sembari dipeluk dan sangat berhati-hati bertanya. Jawabannya seperti biasa, tidak ada masalah apa-apa. Hanya selang beberapa jam kemudian, saya mendapatkan jawabannya di WA group orangtua murid dan wali kelas.
Wali kelas putri saya memang memiliki dedikasi yang handal. Tak hanya menjadi guru teladan bidang studi matematika, tapi juga sangat rajin menginformasikan berbagai hal. Kali ini menginformasikan tentang pengumuman PPDB SMA afirmasi di Provinsi DKI Jakarta Periode 2020/2021 (KJP).
Pemberian informasi itu pun langsung banjir tanggapan kekhawatiran dari orangtua dan kisah sedih dari orangtua murid penerima KJP yang harus rela anaknya terdepak karena usianya tergolong muda.
Sedihnya, orangtua murid penerima KJP tersebut jelas tidak memiliki back up dana untuk masuk di SMA swasta.
Para orangtua penerima KJP yang kebetulan siswa-siswi muda usianya itupun menyampaikan alternatif terburuknya, terpaksa anak-anak itu beristirahat setahun di rumah, menunggu usia mencukupi karena memang tidak ada dana untuk masuk ke SMA swata.
Ironis, bagi siswa/i SMP Negeri yang memiliki nilai akreditasi yang sangat baik di bilangan Jakarta Barat tersebut. Padahal biasanya, sudah jadi tradisi, siswa/i SMP tersebut "bedol desa" ke SMA yang letaknya bersebelahan dengan SMP tersebut.Â
SMA Negeri itu biasanya mendapatkan pagu SNMPTN terbanyak di Jakarta Barat. Setidaknya saya sebagai Ibu pun tahu permasalahan besar apa yang tengah dipikirkan putri kami.
Sebelumnya, dia juga harus menelan pil pahit kebijakan ketika Ujian Nasional dibatalkan. Meski dalam konteks hubungan ibu dan anak, tentunya saya hanya mampu menghibur dan mengingatkan bahwa ikhtiar si anak belajar itulah yang dinilai sebagai ibadah, bukan hasil akhirnya.
Namun tak dapat disangkal, putri kami yang rajin belajar ini terpaksa harus menelan pil pahit kedua, akibat kebijakan PPDB DKI Jakarta yang lebih memilih memprioritaskan usia.