Semalam saya sulit tidur. Diseso rindu akan tanah Papua (:Diseso bahasa Minang yang artinya Tersiksa). Ingatan demi ingatan melintas satu persatu. Entah beberapa kali saya menginjakkan kaki di tanah Papua.
Mulai dari datang bersama seorang senior perempuan (:kebetulan suku Minang), datang berempat dan kesemuanya cewek dan terakhir beberapa kali datang sendiri.
Kerusuhan sosial yang terjadi di Wamena membuat saya khawatir. Sekali lagi ini bukan soal konflik horizontal antar suku, antara pendatang dan peduduk asli apalagi agama. Cobalah tenggok para pengungsi, tak hanya "non" Papua, namun juga ada yang Papua.
Namun tentu dalam memandang suatu permasalahan dalam sebuah konflik, setidaknya kita harus meminimalisir terjadinya ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan khususnya yang terjadi antara pendatang dan penduduk asli.
Memang Indonesia terkenal akan keragamannya, jadi potensi keragaman itu pula yang kerap dipandang sebagai titik lemah untuk diceraiberaikan.
Mengapa saya berani menegaskan ini bukan soal suku, ras ataupun agama? Karena saat saya datang dan tinggal beberapa di Papua, baik bersama teman maupun sendiri saya berbaur bersama. Tak jarang saya menjelajah sendiri tak peduli waktu.
Tak hanya di Jayapura, Abepura, namun menjelajah melewati jalan hingga ke perbatasan. Semua menyisakan kenangan akan kedamaian.
Terlebih pasar mama-mama karena saya memang menyukai pasar tradisional. Kerap kali saya jalan di pasar mama-mama sampai berjam-jam seorang diri. Iya, seorang diri, dengan berbalut hijab. Karena memang saya datang seorang diri.
Memori yang paling saya ingat adalah hamparan bunga pepaya segar-segar begitu banyak dan ikan asap yang besar-besar. Saya pengemar bunga pepaya dan ikan asap. Jadilah keduanya selalu menjadi tentengan belanjaan saya.
Oya sebagai catatan.. pasar mama-mama adanya malam hari ya . Jadi kebayangkan betapa amannya Papua? Saya - wanita muslimah berhijab - jalan-jalan seorang diri di pasar mama-mama... Hmm.. pernah saya lupa waktu gara-gara sibuk memilih ikan asap, saat sampai pulang baru terlihat jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam.
Maklum saat itu saya masih menyetel jam tangan dan HP masih dengan waktu indonesia bagian barat untuk mengingatkan tetap membangunkan sholat subuh dan menyesuaikan waktu dengan keluarga di Jakarta.