Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Full Day School Menambah Kecemasan Ibu

9 Agustus 2016   12:39 Diperbarui: 9 Agustus 2016   12:49 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gagasan full day school mungkin  bagus. Usulan konkrit dari Mendikbud tersebut intinya mengharuskan siswa berada di sekolah selama sepuluh jam. Namun pastinya gagasan itu menambah kecemasan ibu, setidaknya bagi saya yang memiliki tiga puteri yang duduk di bangku sekolah dasar dan bangku sekolah menengah atas. Mengapa? Pertama, sebagai seorang ibu saya sangat konsen akan ketertiban ketiga puteri saya untuk menjaga ibadah wajib sholat lima waktu mereka. 

Di rumah praktis, pengawasannya akan lebih baik. Meskipun saya bekerja, tapi sebagai seorang Ibu, saya telah mendelegasikan kewajiban pengawasan melekat untuk memastikan ketiga puteri saya untuk sholat lima waktu kepada ART. Sementara jika di sekolah, berulang kali saya mendengar betapa puteri saya harus "berjuang" untuk dapat kesempatan wudu dan sholat. Maklum serempak sekian kelas sholat bersama, sementara fasilitas kamar kecil, tempat wudhu dan musholat terbatas. 

Banyak cerita "lucu tapi miris" mulai dari keisengan kakak kelasnya menguyur puteri saya saat wudhu hingga akhirnya sakit influenza karena dalam kondisi baju basah puteri saya tetap harus mengikuti pelajaran hingga sore hari (kurang lebih pukul 15.00 WIB). Berbeda dengan konsep pesantren, dimana siswa memang tinggal/mondok disitu. Pertanyaannya, jika kebijakan full day school diterapkan, apakah sekolah mampu menjamin anak-anak siswa melakukan semua ibadah wajibnya dengan baik? Kecuali bila kebijakan ala "pesantren" itu diadopsi secara penuh. Tapi pertanyaannya berikutnya bagaimana dengan siswa beragama non Islam?

Kecemasan kedua adalah berkaitan dengan keteraturan pola makan, Jika kemarin si adik yang terkena sakit pencernaan. Penyebabnya meski dibawakan bekal makan siang, namun karena tidak semua temannya membawa bekal akhirnya sering kali puteri kami tidak makan karena dipalak. Sekarang giliran si kakak yang terindikasi gejala yang sama. Meski sudah dibekali dengan bekal nasi untuk makan siang. Tapi tetap saja pengawasan untuk keteraturan makan jauh lebih baik bila si anak berada di rumah saat jam makan siang tiba. Namun karena aktivitas belajar mengajar di sekolah ditambah untuk persiapan Ujian Nasional, mau tidak mau orang tua harus cukup berupaya dengan menyediakan bekal untuk makan siang. Tak terbayang jika jam pelajaran sekolah ditambahkan (lagi) hingga mencapai 10 jam. Pertanyaannya kemudian , mampukah pihak sekolah dan pemerintah menjamin pola makan anak tetap dapat terlaksana dengan baik dan teratur? Jika dibuat pola asrama, makan dari sekolah misalnya, sanggupkan orang tua murid memikul biaya tambahannya? 

Belum lagi dengan hak-hak anak lainnya yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah istirahat/tidur siang. Waktu terbaik untuk tidur siang adalah pukul 14.00-15.00 WIB. Tidur siang dapat memberikan pengaruh positif pada kesehatan tubuh. Pertanyaannya kemudian jika konsep full day school diterapkan, dimana siswa dapat memperoleh haknya untuk tidur siang?  Tentu hal ini berbeda dengan konsep mondok/pesantren dimana siswa bisa pulang ke kamarnya untuk istirahat sejenak.

Selain itu anak-anak juga membutuhkan keseimbangan untuk relaksasi. Bermain. Jika di rumah, anak dapat berselancar di internet misalnya dengan bawah kendali perangkat yang sudah dipasang oleh orang tua. Atau misalnya bermain petak umpet, kelereng atau permainan lainnya yang kerap dimainkan bersama di daerah-daerah. Berbeda dengan di kota, di daerah-daerah usai sekolah, anak-anak banyak terlihat bermain bersama dalam bentuk tim. Dampak positifnya adalah menyeimbangkan psikologi anak dan menghindari stress. Lantas bagaimana jika anak berada di sekolah 10 jam lamanya?

Itu hanya sebagian kecil kecemasan Ibu ketika mendengar full day school diwacanakan. Bagi seorang ibu saya lebih menyukai bila anak saya sudah berada di rumah pada saat jam waktu makan siang tiba. Mudah saja alasannya, karena saya belum sepenuhnya percaya bahwa sekolah mampu menjadi tempat "berlindung" bagi siswa yang aman dan mampu "menertibkan" anak saya tanpa adanya ancaman kekerasan baik dari siswa lainnya maupun dari guru. Keteraturan beribadah dan makan adalah beberapa hal yang menjadi konsen perhatian seorang Ibu. Belum lagi kecemasan bila biaya sekolah akan semakin bertambah. Beban APBN yang sudah sarat, tidak memungkinkan bila akan ditambah lagi beban lauk pauk untuk siswa dari Sabang sampai Merauke. Kecuali bila ada beberapa sektor rela digeser.

Namun yang pasti, kebijakan full day school memberikan penegasan kepada saya pribadi tentang dampak negatif bila menteri-menteri kerap dibongkar pasang, terutama menteri-menteri yang berkaitan langsung kebijakannya dengan masyarakat. Semoga jangan lagi-lagi masyarakat menjadi korban bongkar pasang kebijakan. Alangkah baiknya langkah perbaikan dimulai dari temuan-temuan masalah dari Menteri terdahulu yang tentu telah  "diwariskan" secara sistemis berbagai dokumennya. Misalnya terkait dengan banyaknya buku-buku diktat yang harus dibawa sehingga mengancam perubahan struktur tubuh siswa. Atau misalnya berkaitan dengan penyelenggaraan pendaftaran siswa baru secara online yang membutuhkan pembenahan sistemnya. Tak perlu mengejar kesuksesan dengan gebrakan program yang mewacana begitu luas namun justru menimbulkan pro dan kontra yang justru tidak produktif bagi tercapainya hakekat pendidikan yang nyata. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun