Nak, jangan marah.. jangan benci ibu ya jika ibu menuliskan surat ini secara terbuka
Ibu bukan bermaksud menelanjangi kesalahan di muka umum,
Melainkan Ibu ingin agar surat ini juga dibaca oleh Sonya-sonya ibu yang lain..
Nak, dulu.. ketika ibu seusiamu, ibu juga pernah merasakan betapa muda berarti bebas merdeka
Dulu.. ketika ibu seusiamu, juga merasakan betapa marah langsung meledak ketika ketika ditegur
Tapi, ada yang sedikit berbeda..
Dulu, ibu tak akan seberani Sonya, ketika berhadapan dengan polisi.
Polisi kala ibu seusiamu begitu disegani.. Karena apa? Sebab setiap saat orang tua ibu mengancam selalu berkata "Hayo makan, awas.. kalau nggak mau makan, nanti mami panggilkan polisi.."
Lucu memang. Apa ya hubungannya polisi dengan anak yang susah makan? Apa salahnya polisi selalu dibawa-bawa setiap orang tua mengancam? Itulah pikiran Ibu kala sudah beranjak dewasa menjadi seusiamu. Namun, Nak.. itulah pola-pola pendidikan moral yang dilakukan orang tua dulu untuk menanamkan jiwa untuk taat pada aturan. Karena polisi ada untuk menjaga aturan-aturan yang menjamin ketertiban masyarakat tetap berlaku.
Oya, Sonya, waktu seusiamu dulu.. Ibu juga memiliki "ayah seorang jenderal" di Kepolisian dan bahkan di Mabes ABRI.
Namun, ibu jauh beruntung dari dirimu Nak.
Tingginya jabatan "ayah" wajar bila membuat kita sebagai seorang "anak" menjadi merasa istimewa.
Betapa tidak? waktu dulu seusiamu.. saat kami berombongan harus dengan susah payah meminta ijin bertemu di mabes ABRI tiba-tiba salah seorang jenderal berkata, "Anak saya juga ikut lho dalam rombongan ini, namanya Handrini" kata beliau sambil menunjuk ke arah Ibu dari podium.
Betapa pipi ibu langsung terasa panas. Bangga? Bisa jadi. Bayangkan disebut sebagai anak oleh seseorang berseragam lengkap dengan bintang-bintang di pundaknya. Seluruh yang hadir langsung memandang ke arah Ibu. Usai pertemuan, "ayah" tersebut langsung menyambangi dan melakukan prosesi layaknya seorang ayah kepada anak perempuannya, menepuk pundak, mengacak jilbab ibu sampai akhirnya memberi uang saku yang jumlahnya sungguh tidak akan diterima oleh anak yang lainnya. Namun disisi lain, spontan semua senior menyalahkan ibu, "Kok, ga bilang-bilang sih ayah kamu disini. Kan bisa lebih gampang prosedurnya.. bisa lebih cepat masuk ijin ke mabesnya," gerutu seorang senior. Dengan malu ibu menjawab,"Itu bukan ayah saya Mas. Itu Oom saya," jawab Ibu.
Intinya apa Nak? kebanggaan memiliki seseorang yang dekat dengan kita yang memiliki jabatan, pangkat adalah hal yang wajar di seusia Sonya. Ibu pahami itu. Karenanya ibu hanya bisa tersenyum kecil ketika ada beberapa anak-anak pejabat seantero negeri ini, tidak hanya anak jenderal yang jumawa karena jabatan ayah-ayah mereka. Tapi Nak, Ibu harap.. kamu bisa pahami bahwa kemudahan dan pengistimewaan perlakuan - seperti yang disampaikan senior Ibu pada waktu itu - juga itulah yang terjadi pada Sonya kemarin, bukan? Bukan salah Sonya semata memang.. namun, maaf bila Ibu merasa sebagai seorang Ibu ingin berpesan dalam-dalam kepada Sonya.. kebanggaan itu hanyalah semu.. bahkan ketika kita mampu berada pada posisi yang membanggakan itu, kebanggaan itu juga semu. Karena kebanggaan sesungguhnya adalah ketika kita mampu melakukan semua amanah yang ada dipundak kita saat ini dengan baik dan kita terus menerus merasa belum cukup baik dalam memenuhi amanah itu sehingga kita terus berusaha memperbaiki setiap nafas yang tersisa di kehidupan kita.
Nak... ibu tidak bisa membayangkan bagaimana perasaanmu saat ini. Dalam kehidupan, ada kalanya kita harus membayar tunai setiap kesalahan kita di dunia. Namun, jangan salah, ada kalanya kesalahan itu harus kita bayar kelak di akhirat. Ibu harap apa yang terjadi kemarin benar-benar dapat Sonya jadikan pelajaran yang sangat berharga sekaligus momentum untuk merubah diri menjadi diri yang benar-benar dapat membanggakan bagi kedua orang tua, termasuk menjadi kebanggaan ayah Sonya Almarhum.
Tegaklah Nak, tataplah dunia dengan senyum. Sampaikanlah maaf dengan tulus. Karena sesungguhnya permintaan maaf akan mengiringi terlepasnya himpitan beban dari hati nurani. Pun dengan maaf semoga akan lebur kesal menjadi untaian doa yang akan terus memeluk hari-hari kita.
Masa muda memang penuh dengan bianglala Nak. Jalanilah masa muda itu dengan gembira namun ibu tetap berharap teruslah ikatkan hati pada ketaatan diri kepada Sang Pencipta. PadaNya jua, kita akan kembali pada waktu yang tiada mampu kita ketahui. Dengan terus mengikatkan ketaatan kepadaNYA, maka segala lisan dan perbuatan kita akan mampu kita selaraskan dengan segala kepatutan yang ada.
Nak, cukupkanlah gundah gulanamu dengan sebuah tekad untuk memperbaiki setiap laku diri. Tidak ada manusia yang sempurna namun hanya manusia bodoh yang tidak berkeinginan bulat dan terus berusaha untuk memperbaiki diri. Tarik nafas panjang dan larungkanlah segala gundah gulanamu pada rangkaian panjang doa-doa dalam kekhusyukan yang ada. Tak lupa, berjiwalah kesatria. Menyadari satu kesalahan diri adalah salah satu langkah besar untuk dapat menuju perbaikan diri. Tetaplah ceria dan bersemangat untuk mewujudkan mimpi-mimpi dan segala cita-citamu, namun jangan lepaskan ikatan hatimu pada kekuatan keimanan yang hakiki. Sebab hanya keimanan yang dapat menyelamatkanmu dalam menempuhi setiap langkah kehidupan.Â
Jawablah kekecewaan mereka yang kau sayangi dengan manisnya budi pekertimu dan prestasimu yang mampu membuat mereka bangga. Jawablah segala macam penghakiman mereka atas perilakumu terdahulu dengan perubahan perilaku yang akan membuatmu sebagai teladan diri yang berkhidmat akan pembelajaran diri atas segala kesalahan. Teriring doa dan sayang untuk Sonya-Sonya yang ada di negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H