Sedih melihat berderet taksi berdemo di sepanjang jalan Gedung MPR/DPR/DPD RI. Sedih karena sebagai konsumen sepertinya harus siap-siap terabaikan (lagi). Betapa tidak? Awalnya untuk penentuan tarif awal saja tidak ada pelibatan wakil dari konsumen untuk dimintakan persetujuan. Penguna moda transportasi darat hanya pasrah menerima ketika tarif awal taksi khususnya yang diorder lewat tilp maupun aplikasi kembali dinaikan. Sekedar catatan, KPPU menemukan adanya penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha di DKI Jakarta dan Semarang. Penetapan tarif oleh kumpulan pelaku usaha merupakan bentuk kartel yang dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999. Penetapan tarif taksi oleh pelaku usaha akan menghilangkan ruang bagi pelaku usaha untuk melakukan inovasi harga dan hanya melindungi pelaku usaha dengan kualitas buruk untuk dapat bertahan dalam industri tersebut.
Kasus yang berbeda namun menorehkan nasib konsumen yang terabaikan adalah terhadap pelayanan yang acapkali kurang memuaskan. Mulai dari perangai pengemudi yang menyetir agak kasar hingga perilaku yang tidak mengenakkan lainnya. Karena kami adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan tiga anak serta kadang kami berpergian dengan asisten rumah tangga untuk order taksi kami selalu berusaha meminta jenis armada minibus. Tapi selalu tidak ada. Ujung-ujungnya kerap kali kami mendapat komentar yang kurang mengenakan dari pengemudi. "Wah peleknya bisa kena" atau "wah terlalu turun" dll. Apalagi di jalan masuk komplek perumahan kami polisi tidurnya cukup tinggi karena dekat dengan Sekolah Dasar. Akibatnya bisa dibayangkan ketika mobil taksi berjenis sedan harus dijejali dengan5-6 Â penumpang. Jadi sangat wajar bukan jika kami memilih Grabcar?
Kasus yang sering terjadi lainnya adalah kami sekeluarga sudah siap-siap berdandan rapi untuk kondangan. Rencananya selain kondangan kami juga akan memenuhi permintaan anak-anak kami untuk jalan-jalan. Order taksi pun sudah lama dilakukan. Tidak ada kabar jua. Kami kembali menelpon. "Masih dicarikan Bu, mau tunggu atau cancel?" tanya si operator. Alhasil hari itu kami terpaksa mengecewakan mereka ketika armada taksi tidak jua dapat diluncurkan. Jadi apakah salah jika kami beralih memilih Grabcar? Kadang kami cukup menunggu 10 hingga 5 menit saja.
Kisah lainnya, saat saya dapat schedule penerbangan pagi dan harus naik taksi. Malamnya saya sudah pesan untuk jam 04.00 WIB. Paginya saya tunggu hingga jam 04.00 WIB belum juga ada taksi yang datang. Saya buru-buru menelpon. Ternyata tidak ada armada! Tidak ada pemberitahuan sama sekali. Saat itu hujan deras. Saya minta tetap dicarikan karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Sementara saya benar-benar terdesak untuk on time ke Bandara. Terbayang bukan paniknya saya seorang perempuan setangguh apapun dia harus memenuhi schedule penerbangan akhirnya harus mencari alternatif transportasi untuk ke bandara di dini hari yang sedang hujan? Untungnya tukang ojek yang rumahnya ada di belakang kompleks perumahan bisa mengantarkan. Sungguh tidak lucu! Akhirnya dijalan setelah naik ojek dapat juga taksi. Ke Bandara dengan tergopoh-gopoh sungguh tidak menyenangkan bagi saya yang sudah terbiasa semuanya tertib dan terjadwal. Lantas adakah bentuk pertanggungjawaban dari penyedia layanan taksi? NOL!
Kerap kali juga puteri ke-3 saya terpaksa muntah karena aroma taksi yang tidak diperhatikan dengan baik. Tidak semua armada memang. Ada juga pengemudi yang sangat bertanggungjawab ketika puteri ke-3 saya muntah-muntah dia tidak marah dan mengulurkan koran. Puteri ke-3 saya memang alergi taksi. Dia hanya bisa naik mobil pribadi ataupun angkot. Lantas salahkah kami jika sekarang kami cemas dengan terancamnya Grabcar?
Kisah tentang diputar-putarkan saat mengunakan taksi konvensional pun sudah tak bisa dihitung lagi. Kisah tentang sengaja dilewatkan jalan yang macet juga tak terhitung lagi. Padahal kami sudah minta untuk lewat jalan A misalnya. Dengan dalih kelewatan dan sebagainya terpaksa kami pasrah untuk membayar jauh melampaui batas biasanya. Pernah saya terburu-buru akan menenggok keponakan yang dirawat di RS Islam Pondok Kopi, karena panik mendengar keponakan dirawat saat itu saya sedang menelpon ayahnya anak-anak untuk mengabarkan kondisi keponakannya yang dirawat saya lupa mengingatkan pengemudi untuk turun tol. Padahal saat naik saya sudah menjelaskan detail jalan yang harus dilalui karena saya sudah berulangkali melewati rute tersebut. Akibatnya? hohoho.... sudah bisa diduga....saya PASRAH ketika akhirnya turun di pintu tol berikutnya yang berarti jalannya sangat memutar dan sangat macet. Menjenguk keponakan pun GAGAL malam itu. Kesal, karena sebelumnya saya juga sudah menjelaskan kepada pengemudi bahwa jam besuk sangat ketat. Saya pun terpaksa membayar 2 kali lipat ongkos biasa untuk Senayan - Klender. Lapor ke bagian pengaduan tentu. Tapi hanya sebatas itu saja!!
Layanan Grabcar yang mengunakan sistem jarak otomatis menjadi pilihan yang jauh lebih baik bagi kami, konsumen penguna moda transportasi berbayar. Selain itu armadanya yang bagus dan baru sangat nyaman dan sesuai kebutuhan dan harapan kami. Kini tampaknya kami sebagai konsumen harus siap-siap untuk terabaikan lagi ketika ada pengerahan kekuatan yang memaksa.
Satu lagi pengalaman pahit saya saat mengorder via telp ke salah satu layanan taksi yang konon terdepan dalam prestasi. Saat itu Ketiga puteri saya sakit. Tapi karena sakitnya disebabkan karena faktor psikologis, ujung-ujungnya mereka minta terbang ke Semarang untuk menghilangkan kesedihan mereka karena satu dan lain hal. Akhirnya malam-malam saya pun order taksi via telp. Alangkah sedih dan kesalnya ketika operator menyangka saya malam-malam akan klayapan! Hanya karena saya menyebutkan daerah Melawai. Padahal tujuan saya ke Sriwijaya yang ada di Melawai. Meski saya sudah menjelaskan maksud saya ke Melawai dan si petugas operator minta maaf, tetap saja kejadian buruk itu selalu menghadirkan kesedihan dan kekecewaan tiap mengingatnya. Karenanya sistem layanan dari penguna langsung ke pengemudi seperti Grabcar layak untuk ditiru oleh penyedia layanan transportasi lainnya. Bajaaj pun sudah berupaya mengadopsinya.
Jadi memang bukan hanya sekedar APLIKASI melainkan bagaimana Grabcar dan penyedia layanan transportasi darat lainnya terbukti mampu memenuhi standar kepuasan dan kebutuhan kami penguna layanan transportasi darat. Namun sekali lagi saat ini kami pun sedih karena kami sepertinya harus siap-siap untuk terabaikan lagi. Karena mulai dari harga yang akan naik hingga ancaman larangan beroperasinya layanan tranportasi yang kami butuhkan dan kami harapkan pun terancam. Sedang kami tidak memiliki kekuatan yang mampu memposisikan kami memiliki bargaining posisi yang sama dengan mereka yang memiliki kekuatan yang mampu memaksa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H