Kehidupan tak selalu seindah harapan. Ada kalanya seorang ibu pada akhirnya harus menerima kenyataan untuk melepaskan laki-laki yang merupakan ayah dari buah hatinya sebab bagaimanapun hak untuk berpisah terletak ditangan suami. Berbeda dengan ketika seorang anak harus kehilangan seorang ayah karena kematian, pada kasus perceraian tidak mudah untuk tetap menyadarkan dan menekankan kepada anak untuk tetap menghormati dan mendoakan orang tua kandung mereka yang sudah tidak bersama lagi. Satu hal yang harus diwaspadai bagi orang tua yang ngotot untuk bercerai, bagi seorang anak, cinta adalah menjaga dan memelihara. Bagi seorang anak kerap kali berbanding lurus dengan sikap yang mereka terima. Bila kita orang tua lalai atau bahkan sampai hati meninggalkannya dengan alasan apapun juga akan selalu berpengaruh pada perasaan mereka kepada kita sebagai orang tua.
Tentang hubungan antara ayah dengan ayah tiri paska perceraian tentu akan selalu menjadi pemikiran para ibu yang harus menghadapi kenyataan perceraian karena berbagai alasan yang tak terelakkan. Sekuat dan sengotot apapun seorang wanita berusaha mempertahankan pernikahan tetap saja hak prerogatif terletak di tangan seorang suami meski tentu hak dan kekuasaan mutlak tersebut bukan berarti bebas nilai.(*baca “Safety First In Talak” di http://edukasi.kompasiana.com/2013/03/07/safety-first-in-talak-540802.html.Meski ada teman yang mengkritik karena saya kerap mengambil perumpamaan dalam dunia penerbangan untuk rumah tangga tapi bagi saya itu membuat saya lebih mudah memahaminya. “sky is vast but there’s no room for errors” itu adalah salah satu prinsip yang ada dalam dunia penerbangan yang saya kerap ibaratkan dalam setiap hal dalam kehidupan termasuk didalamnya tentang talak, meski kekuasaan talak mutlak ada ditangan suami tapi sesungguhnya semua aturan yang telah ditetapkan sudah jelas dan tidak membuka celah sedikitpun untuk melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan).
Satu hal yang harus dipahami setiap ibu, peran seorang ayah tidak akan mungkin digantikan seorang Ibu. Tapi seorang anak bisa mendapat figur ayah dari “ayah lainnya” yang berada di sekitarnya. Seorang ibu takjub ketika mendengar cerita dari bocah perempuan kecilnya setiap hari tentang guru laki-lakinya yang begitu baik bahkan tak jarang mengendongnya. Bisa jadi salah satu alasannya adalah ketiadaan figur seorang ayah dalam kehidupan si bocah itu sehingga tanpa disadari sosok dan peran ayah tersebut tergantikan oleh sosok guru pria tersebut. Itulah alasan mengapa di masjid-masjid sosok Ustad pada akhirnya menjadi figur penganti ayah yang tidak didapatkan oleh anak-anak di rumah mereka.
Sebuah pengajian menarik dari Yayasan Keluarga Semut tentang Peran Ayah dalam Keluarga dengan gamblang menjelaskan tentang betapa penting peran ayah dalam pendidikan anak. Ibu adalah madrasah pendidikan anak itu benar adanya. Namun yang tak kalah pentingnya adalah kewajiban yang diletakkan oleh Sang Pencipta di tangan seorang ayah.
Hinggar binggar kehidupan yang makin terseret kepada kehidupan duniawi tanpa disadari telah mendegradasi peran seorang ayah bagi kebanyakan orang “hanya sebagai pencari nafkah” dan bahkan peran sebagai pencari nafkah itupun ikut terdegradasi dengan dihadirkannya ibu yang mau tidak mau harus pontang panting mencari nafkah demi si buah hati. Kemilau keindahan kehidupan duniawi yang kerap membuat lupa kewajiban yang harus dipenuhi yang sesungguhnya tak hanya terbatas pada materi semata. Kebahagiaan pun menjadi terdegradasi maknanya menjadi sekedar kesenangan belaka. Kala seorang ayah tak lagi terobsesi bagaimana berusaha menjadi seorang “Lukmanul Hakim” yang cakap memimpin dan memenuhi nafkah lahir dan batin bagi keluarga namun lebih terlena pada “kuasa” yang demikian besarnya yang diberikan Sang Pencipta kepadanya, lantas bagaimanakah seorang Ibu harus menyikapinya ?
Banyak pria yang tak menyadari bahwa ketika ia telah mengucapkan ijab pada seorang wanita yang kemudian wali wanita tersebut telah mengqobulkan ijabnya berarti pula ia harus siap untuk menjadi guru, digugu lan di tiru, dalam artian harus mampu menjadi pendidik bagi wanita dan anak-anak yang ada dalam keluarga tersebut dan sebaik-baiknya pendidikan adalah melalui teladan yang ditunjukkannya.
Satu hal yang kerap terlalaikan pasca perceraian adalah kewajiban masing-masing orang tua pasca perceraian terhadap anak-anak mereka. Perceraian tak berarti berakhir kewajiban mereka terhadap anak-anak mereka.
Bagaimana kewajiban ayah terhadap anak pasca perceraian ? tetaplah tak berubah ketentuannya sebagaimana sebelum perceraian itu terjadi. Segala keperluan anak adalah kewajiban seorang ayah. Terlebih ketika anak tersebut adalah anak perempuan, merupakan kewajiban bagi ayahnya untuk menjadi wali nikah bagi putrinya. Demikian pula dengan pendidikan akhlaq anak tetap pula melekat pada diri seorang ayah sebagaimana firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga-keluarga kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (QS. At-Tahrim: 6)
Sebagaimana pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang mencukupi kebutuhan dan mendidik dua anak perempuan hingga mereka dewasa, maka dia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan aku dan dia (seperti ini),” dan beliau mengumpulkan jari jemarinya. (HR. Muslim).
Mengutip penjelasan Ustad Abu Muawiah, “Anak-anak, pendidikannya, serta pengurusannya adalah amanah yang Allah berikan kepada para ayah, karenanya para ayah adalah pimpinan mereka dan penanggung jawab atas keadaan mereka. Wajib atas para ayah untuk menasehati anak-anak mereka dengan kebaikan dan menjadikan pendidikan serta perbaikan mereka merupakan pekerjaan dan urusannya yang paling utama dan paling penting.”
Ada sebuah kisah menarik di jaman Umar bin Al Khaththab.
Seseorang pernah datang kepada Umar bin Al-Khaththab ra dan mengadukan anaknya, “Anakku ini benar-benar telah durhaka kepadaku.”
“Apakah engkau tidak takut kepada Allah dengan durhaka kepada ayahmu, Nak? Karena itu adalah hak orang tua,” kata Umar kepada sang anak.
“Wahai Amirul Mukminin, bukankah anak juga punya hak atas orang tuanya?”
“Benar, haknya adalah memilihkan ibu yang baik, memberi nama yang bagus, dan mengajarkan Al-Kitab (Al-Quran).”
“Demi Allah, ayahku tidak memilihkan ibu yang baik. Ibuku adalah hamba sahaya jelek berkulit hitam yang dibelinya dari pasar seharga 400 dirham. Ia tidak memberi nama yang baik untukku. Ia menamaiku Ju’al. Dan dia juga tidak mengajarkan Al-Quran kepadaku kecuali satu ayat saja.” Ju’al adalah sejenis kumbang yang selalu bergumul pada kotoran hewan. Bisa juga diartikan seorang yang berkulit hitam dan berparas jelek atau orang yang emosional. ( Al-Qamus Al-Muhith, hal. 977).
Umar menoleh ke sang ayah dan berkata, “Engkau mengatakan anakmu telah durhaka kepadamu tetapi engkau telah durhaka kepadanya sebelum ia mendurhakaimu. Enyahlah dari hadapanku!.” ( As-Samarqandi, Tahbihul Ghafilin, 130)
Tapi bagaimana seandainya anak-anak bersikeras tidak mau ikut bersama dengan ayahnya karena satu dan lain hal ?
Tetap seorang ibu harus mengingatkan dan menjaga agar tetap dapat terlaksana kewajiban ayah dari anak-anaknya dalam batasan sesama muslim untuk saling mengingatkan sebab tiada lagi ikatan pernikahan berarti pula hilangnya hak dan kewajiban sebagai pasangan antara keduanya.
Lantas bagaimana jika kelak takdir menghadirkan pasangan baru bagi ibu tersebut ? Pertama, harus diingat bahwa kewajiban seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : “....Seorang istri adalah pemimpin di dalam urusan rumah tangga suaminya, dan akan dimintai pertanggung jawaban atas urusan rumah tangga tersebut...” (HR. Al-Bukhari no. 844 dan Muslim no. 1829).
Kedua, ayah tiri sesudah terjadi percampuran sesudah pernikahan maka secara otomatis menjadi mahram bagi anak-anak dari pernikahan sebelumnya sebagaimana firman Allah Ta'ala : "Diharamkan bagi kalian (mengawini) ibu-ibu kalian," dan firman-Nya "dan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri," Akan tetapi jika ibunya belum dicampuri, maka anak perempuannya belum menjadi mahram baginya, berdasarkan firman Allah Ta'ala: "Tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya…" (Hal ini menjadi wajib diyakini Ibu sebab maraknya berita-berita tentang pemerkosaan ayah tiri terhadap anak tirinya kerap kali disadari atau tidak disadari menjadi ketakutan tersendiri bagi seorang Ibu ketika menikah lagi).
Ketiga, Ayah tiri tidak memiliki tanggung jawab secara langsung terkait pendidikan dan perhatian terhadap anak tersebut, kecuali jika dia lakukan dengan sukarela dan sikap berbuat baik kepada ibunya. Pahala yang besar bagi Ayah tiri yang menyadari betapa anak tersebut sangat membutuhkan seorang pendidik dan pengarah sedangkan bapak kandungnya tidak memiliki kelayakan menunaikan tugas tersebut.
Rasulullall shallallahu alaihi wa sallam merupakan contoh dan teladan tentang betapa mulianya seorang ayah tiri sebab beliau menikahi para wanita yang telah mempunyai anak, namun beliau menanggung pendidikan mereka dan memperhatikan mereka.
Ada sebuah kisah tentang betapa mulianya akhlak Rasulullall shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang ayah tiri. Dari Umar bin Abu Salamah (putra tiri dari Ummu Salamah) dia berkata, "Dahulu aku masih anak-anak dalam perawatan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Saat itu tanganku megacak-acak makanan dalam piring. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Wahai ananda, ucapkan bismillah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah yang ada di hadapanmu." (HR. Bukhari, no. 5061 dan Muslim, no. 2022).
Lantas bagaimanakah peran seorang ibu terhadap hubungan antara ayah tiri dan anak ? tentunya ibu memiliki peran yang sangat besar dalam mengajarkannya untuk mencintai suaminya, memperkuat hubungan antara mereka berdua dan mengajak sang suami agar bersabar mendidiknya serta mengingatkannya akan pahala yang besar dalam mendidik dan memberikan perhatian kepada anak-anak tersebut.
Saat menuliskah kalimat tersebut saya jadi teringat akan kalimat-kalimat yang kerap dikatakan oleh wanita yang melahirkan saya, “Bapak itu sangat menyayangi kamu.. Bapak juga sudah menganggap kamu seperti anaknya sendiri..”. Ya, kalimat Mami, begitu saya menyebut wanita yang melahirkan saya adalah benar adanya. Begitulah sebagai seorang anak, saya lebih melihat pada sikap dan perbuatan lebih dari sekedar mencerna dan memahami kalimat. Bapak, benar adalah ayah tiri, namun dalam kehidupan saya beliau benar-benar adalah ayah bagi saya. Setiap memikirkan kedua ayah yang saya miliki – Papi almarhum dan Bapak, tak terbilang rasa syukur itu. Bapak tak sekedar ikut bantu Mami memikul tanggungjawab secara materi saat saya akan menikah melainkan juga menyayangi dan menjaga saya dan putri-putri saya laksana darah daging saya sendiri. Saat putri pertama saya sakit dan dibawa kerumah sakit, Bapak langsung meluncur ke rumah sakit meski baru tiba dari perjalanan jauh tugas dari luar kota yang memakan perjalanan berjam-jam dan beliau menyetir mobil sendiri. Sesampainya di rumah sakit beliau langsung mengendong Putri pertama saya tersebut yang waktu itu masih berusia 10 bulan. Beberapa saat kemudian beliau tertawa.. “Lala ngompol Din..”. Tapi tak segera Bapak bersedia melepaskan gendongannya sebelum saya siapkan celana penganti untuk putri saya. Tak hanya itu, banyak hal dan masalah yang saya hadapi, Bapak benar-benar berdiri dan menjaga saya laksana putri kandungnya sendiri. Lagi, lagi sebagai seorang anak, saya benar-benar merasa mendapatkan sosok ayah dalam setiap perbuatan beliau hingga saya selalu berat menyatakan kata “tiri” pada beliau. Setiap melihat Mami dan Bapak berdua yang selalu seperti “orang pacaran” diusia mereka yang telah beranjak senja dan menua, tertawa sepanjang perjalanan selalu tak terbilang rasa syukur itu. Adakah kebahagiaan yang melebihi rasa syukur seorang anak melihat ibunya demikian dicintai oleh laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan Bapak? Begitulah anak akan selalu menyayangi orang yang menyayangi ibu mereka sama seperti mereka.
Secara agama jika anak-anak dalam pernikahan sebelumnya adalah perempuan memang tetap memerlukan kehadiran ayah kandung yang merupakan urutan teratas dalam nasab-nya sehingga ayah kandung yang wajib untuk menjadi wali pernikahan. Namun sebaliknya secara psikologis anak perempuan memiliki kepekaan perasaan yang lebih dari seorang anak laki-laki dan lebih mudah menerima kehadiran sosok “ayah penganti” daripada seorang anak laki-laki. Setidaknya inilah yang saya pahami ketika kakak laki-laki saya sedikit lebih lambat menerima Bapak sebagai “ayah” kami. Seorang anak laki-laki biasanya juga cenderung lebih protektif terhadap ibunya daripada seorang anak perempuan.
Referensi :
1.Anak Tanggungjawab Ayah, Abu Muawiah, http://al-atsariyyah.com/anak-tanggung-jawab-ayah.html. diakses Rabu, 5 Juni 2013.
2.Dicari Lukmanul Hakim, Andriano Rusfi, http://omahsemutku.blogspot.com/2012/10/dicari-luqmanul-hakim.html. diakses Rabu, 5 Juni 2013 .
3.Ketika Orangtua Justru Durhaka Kepada Anaknya, http://salafy-ums.blogspot.com/2012/05/ketika-orangtua-justru-durhaka-kepada.html. diakses Rabu, 5 Juni 2013.
4.Peran Bapak Tiri Terhadap Pendidikan Anak-Anak Tirinya?, http://islamqa.info/es/ref/129377 diakses Rabu, 5 Juni 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H