Sekaten “catatan kecil sebuah pergeseran konsep dasar”
Sekaten, seperti kita pahami bersama berasal dari kata Syahadatain. Pada masa Sultan HB I, sekaten dijadikan ajang da’wah Islam. Tiket masuk areal alun-alun utara yang notabene dijadikan central perayaan sekaten tak dibayar dengan rupiyah melainkan dengan pembacaan Syahadat. Pergeseran yang muncul pada era sekarang entah apa motivasi dasarnya namun terlihat ada pergeseran konsep di sana. Mungkin di jaman yang serba rupiyah seperti sekarang serta pengukuhan kata DEMOKRASI dan HAM yang dijadikan semangat melebihi apa pun, mengingat konsepnya yang dinggap riil dan lebih manusiawi melatarbelakangi pergeseran ini. Entahlah. Namun kadang dalam hati kecil saya sering berbisik-bisik kecil “alangkah nikmatnya jika perayaan sekaten menggunakan aturan main pencetusnya meski hanya diberlakukan pada minggu-minggu awal sekaten saja misalnya.”
Namun terlepas dari itu semua, memang penggunaan tiket masuk membuat semua warga lintas agama maupun ras dapat lebih nyaman mengikuti perayaan ini. Jadi kesan meniadakan perbedaan mampu terwujud melalui komersilitas pengelolaan perayaan ini.
Nb: ini bukan kritik, bukan protes, dan maaf jika terlalu lancang. Ini hanya sekedar gelitikan hati kecil yang sudah lama singgah dan belum sempat diapresiasi saja.
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H