Mohon tunggu...
Handini Mulyati
Handini Mulyati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki Hobi menulis artikel dan cerita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kekerasan Tanpa Menyentuh

16 Maret 2024   10:52 Diperbarui: 16 Maret 2024   10:55 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di berbagai masyarakat di seluruh dunia, fenomena menyalahkan perempuan atas berbagai masalah sosial telah berlangsung sepanjang sejarah. Mulai dari masalah moralitas hingga kemunduran profesional, perempuan seringkali menjadi sasaran dengan sikap budaya yang menempatkan tanggung jawab dan kesalahan pada mereka. Fenomena ini, sering disebut sebagai sindrom "Menyalahkan Perempuan", memiliki akar yang dalam dalam struktur patriarki dan norma-norma sosial yang memperpetuasi ketidaksetaraan gender. Dengan menyelami asal-usul, manifestasi, dan konsekuensinya, kita dapat mulai memahami dinamika yang kompleks ini dan berupaya untuk membongkar pola yang merugikan ini.

Asal Mula Sindrom "Menyalahkan Perempuan":

Akar sindrom "Menyalahkan Perempuan" dapat ditelusuri berabad-abad lamanya, terkait dengan penindasan historis terhadap perempuan dan pendirian sistem patriarki. Sepanjang sejarah, perempuan diberi peran sebagai pengasuh, ibu rumah tangga, dan sosok yang lebih rendah dalam masyarakat, sementara laki-laki memiliki posisi kekuasaan dan otoritas. Dinamika kekuasaan ini menciptakan narasi budaya di mana perempuan dianggap rendah dan secara inheren bertanggung jawab atas menjaga moralitas dan ketertiban masyarakat.

Ajaran agama, tradisi budaya, dan harapan-harapan sosial semua berkontribusi pada penguatan narasi ini. Konsep-konsep seperti kesucian, kesucian, dan kesederhanaan secara tidak proporsional diterapkan pada perempuan, sering kali mengarah pada menyalahkan korban dalam kasus pelecehan seksual atau pelecehan. Selain itu, perempuan sering dijadikan kambing hitam atas segala keburukan dalam masyarakat seperti perceraian, perselingkuhan, dan bahkan bencana alam, memperpetuasi gagasan bahwa tindakan mereka adalah penyebab dari segala kesalahan yang dilihat.

Manifestasi Sindrom:

Sindrom "Menyalahkan Perempuan" muncul dalam berbagai aspek masyarakat, mulai dari hubungan interpersonal hingga kebijakan institusional. Dalam hubungan pribadi, perempuan seringkali dihadapkan pada standar perilaku yang tidak realistis dan disalahkan atas konflik atau masalah yang timbul. Hal ini dapat mengakibatkan pemikiran negatif, pelecehan emosional, dan penurunan harga diri bagi perempuan yang internalisasi pesan-pesan ini.

Di ranah publik, perempuan sering kali menjadi sasaran kritik berdasarkan penampilan, perilaku, dan pilihan mereka. Ini terutama terlihat dalam politik, di mana politisi perempuan sering kali menjadi sasaran serangan seksis dan dijatuhkan pada standar yang berbeda dari rekan-rekan laki-laki mereka. Perempuan dalam posisi kepemimpinan juga menghadapi tantangan tambahan, karena otoritas mereka sering dipertanyakan, dan keputusan mereka disikapi lebih keras.

Di tempat kerja, perempuan mungkin mengalami fenomena "langit-langit kaca", di mana mereka dihalangi dari kesempatan untuk kemajuan atau dibayar lebih rendah dari rekan-rekan laki-laki mereka. Ketika dihadapkan pada kemunduran profesional atau kegagalan, perempuan mungkin disalahkan secara tidak adil atas ketidakberhasilan atau kurangnya ambisi mereka, daripada hambatan sistemik yang menghalangi kemajuan mereka.

Konsekuensi Sindrom:

Sindrom "Menyalahkan Perempuan" memiliki dampak yang luas bagi individu, komunitas, dan masyarakat secara keseluruhan. Pada tingkat individual, perempuan dapat mengalami perasaan bersalah, malu, dan ketidakmampuan sebagai akibat dari disalahkan secara tidak adil atas berbagai masalah. Hal ini dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mental seperti kecemasan, depresi, dan rendahnya harga diri.

Dalam hubungan, pemeliharaan sindrom ini dapat menyebabkan rasa tidak puas, ketidakpercayaan, dan terputusnya komunikasi antara pasangan. Ketika perempuan terus-menerus dianggap bertanggung jawab atas menjaga stabilitas hubungan atau unit keluarga, hal itu dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan dan memperpetuasi dinamika yang tidak sehat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun