Pada hari senin 9 Rabi'ul Awwal tahun gajah bertepatan dengan 20/22 April 571 bayi suci Muhammad SAW dilahirkan oleh ibundanya di tengah kabilah besar yaitu Bani Hasyim. Ketika beliau dilahirkan ibunya bercerita bahwa kala itu  dari kemaluannya keluar sinar yang menyinari negeri-negeri Syam. Saat itu juga terjadi Fenomena besar yang menundukkan manusia di dunia karena ketika beliau SAW dilahirkan Kekaisaran Persia mengalami musibah dengan jatuhnya empat belas berandanya, api yang biasa disembah oleh kaum Majusi padam dan gereja-gereja disekitar sawah roboh karena airnya surut.(Furi, 2020, hal. 54) Hal ini menjadi tanda yang mengisyaratkan kepada segenap manusia akan keagungan sosok bayi Baginda Muhammad SAW dari setiap sisi: perkataan, sifat, akhlak dan yang lainnya serta apa yang akan di bawanya. Sebagaimana apa yang ada didalam al-Qur'an bahwa "Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. [Al Qalam:4]"
Keluhuran akhlaknya dijelaskan dalam sebuah hadits di buku asy-Syamail al-Muhammadiyyah karya Imam at-Tirmidzi bahwa:
Dari Hassan bin Ali, bahawasanya ia berkata: Saiyyiduna Husain bin Ali radiyallahu 'anhumma berkata : "saya pernah bertanya kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib) tentang kehidupan Rasulullah SAW di tengah-tengah para sahabat Baginda. Dia menjelaskan: "Rasulullah SAW adalah Seorang yang berwajah ramah dan ceria, Akhlaq dan perilakunya lembut, Tidak pernah membuat jahat, ucapan dan perbuatannya tidak kotor, tidak suka memprotes dan mencela orang lain, tidak berlebih-lebihan dalam memuji, Mudah melupakan hal-hal yang tidak berkenan di hatinya (tidak menyimpan dendam), Tidak memutuskan harapan orang lain, Berusaha membuat orang lain optimis, Berusaha menjauhi tiga perkara: perselisihan dengan orang lain (dalam perkataan dan harta), boros berkata-kata dan dengan harta, menjauhi segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Menjauhi manusia daripada tiga perkara: mencela dan menghina orang lain, membuka aib (kejelekan) orang lain, berbicara dengan orang lain tanpa manfaat. Jika Baginda bersuara, para sahabat akan menundukkan kepala mereka seakan-akan di atas kepala mereka terdapat suatu beban. Apabila Baginda diam barulah para sahabat berbicara, Mereka tidak berselisih pandangan di hadapan Baginda, Siapa pun berbicara dengan Baginda, sahabat yang lain akan diam memerhatikan hingga orang itu selesai berbicara, Baru disusuli oleh perbicaraan yang berikutnya, Baginda akan tertawa hanya apabila mereka tertawa, Baginda mengagumi sesuatu yang dikagumi oleh mereka, Baginda bersabar atas sikap kasar dan permintaan orang asing (yang belum mengenali Baginda), hingga para sahabat pun ikut memerhatikan permintaan orang asing tersebut. Baginda bersabda: "Apabila kamu melihat seseorang yang mencari sesuatu yang diperlukan, maka bantulah ia". Beliau tidak menerima pujian atas hal-hal yang belum dilakukannya, tidak suka ikut memotong dalam pembicaraan orang lain kecuali pada kata-kata yang buruk sehingga ia dapat menghentikannya atau berdiri dan pergi.(At-Tirmidzi, 2017, hal. 164)
Oleh karena itu, tidak heran jika para sahabat-sahabatnya begitu sayang, rindu, bahkan mencintainya. Kecintaan yang bergitu mendalam juga pernah dialami oleh Sahabat Abu Bakar bin Abu Quhafah.
Ketika itu di Makkah terjadi pembantaian yang begitu mengenaskan yang di alami oleh Abu Bakar bin Abu Quhafah, ia adalah seorang sahabat yang sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. Pada waktu itu ia di pukuli dan juga diinjak-injak dengan sangat keras. Disusul dengan Utbah bin Rabi'ah yang dengan sengaja mendekat lalu memukulinya dengan kedua terompah tebal miliknya kemudian melemparkannya kearah muka Abu Bakar serta melompat hingga jatuh diatas perutnya.
Hal ini menyebabkan Abu Bakar mengalami luka yang begitu serius pada bagian muka dan juga perutnya. Alhasil dibawalah ia oleh suku Bani Taim kerumahnya dengan membukusnya terlebih dahulu menggunakan kain. Mereka tidak memikirkan hal apapun kecuali mengira bahwa Ibn Abu Quhafah telah meninggal. Akan tetapi ketika menjelang sore Abu Bakar tersadar seraya berkata "bagaimana keadaan Rasulullah?", disamping itu Bani Taim kaget dan berkata kepada ibunya  "Terserah apa yang akan engkau lakukan, memberi makan atau minum."
Setelah mengantarkan Abu Bakar, kemudian pulanglah Bani Taim dan tersisa Ia dan juga ibunya. Ketika itu juga ibunya berusaha untuk membujuk anaknya yang sedang sakit itu agar mau makan dan minum. Tetapi sang anak mengatakan perkataan yang sama "Bagaimana keadaan rasulullah?". Dijawab oleh ibunya "Demi Allah, aku tidak mengetahui apapun tentang sahabatmu itu." Ia, Abu Bakar bin Abu Quhafah sangat mencintai Baginda hingga berkata kembali kepada ibunya "Kalau begitu pergilah untuk berjumpa dengan Ummu Jamil binti Al-Khaththab, lalu tanyakan keadaan Ia kepadanya." Dengan penuh kepedulian kepada anaknya, sang ibu pergi untuk menemui Ummu Jamil, sesampainya di kediaman Ummu Jamil ibunya bertanya "Sesungguhnya Abu Bakar bertanya kepadamu tentang keadaan Muhammad bin Abdullah."
Ummu Jamil menjawab "Aku tidak kenal siapa itu Abu Bakar dan juga Muhammad bin Abdulllah, tetapi jika engkau ingin aku menyertaimu untuk bertemu dengan anakmu, aku bersedia untuk menemuinya." "baiklah" Jawab ibunya. Keduanya bergegas untuk menemui Abu Bakar, setibanya di rumah Abu Bakar Ummu Jamil dikagetkan dengan keadaan Abu Bakar yang sangat menakutkan. Ummu Jamil berkata "Demi Allah! Sesungguhnya kaum yang melakukan hal seperti ini kepadamu adalah termasuk kaum yang fasik juga kafir, Sungguh aku berharap semoga Allah SWT membalaskan penderitaanmu ini kepada mereka." Abu Bakar berkata kepada Ummu Jamil, "Bagaimana keadaan Rasulullah?." Dijawab oleh Ummu Jamil "Dia Rasulullah dalam kondisi sehat dan bugar" Abu Bakar bertanya lagi "Dimana Dia sekarang?" "Ada dirumah Ibn al-Arqam" Jawaban Ummu Jamil kepadanya.
Abu Bakar berbicara lagi "Aku bersumpah kepada Allah tidak akan mencicipi mekanan dan menegak air sedikitpun hingga aku datangi Rasulullah".(Furi, 2020, hal. 115) Demikianlah bentuk daripada cinta Abu Bakar bin Abu Quhafah kepada Baginda Ralullah SAW. Disela penderitaan yang sedang ia alami di sutu juga ia memikirkan orang yang begitu ia cintai. Tidak ada keinginan sedikitpun untuk mempedulikan dirinya sendiri sebelum ia mengetahui dengan mata kepalanya tentang keadaan orang yang ia cintai. Hal ini Abu Bakar rasakan tentu karena keluhuran budi pekerti Rasulullah kepada siapapun. Sebagaimana disebutkan di dalam kitab al-Adab al-Mufrad karya Imam al-Bukhari bahwa "Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur'an."(Ismail Al-Bukhari, 1989, hal. 115) Oleh karena itu Abu Bakar bin Abu Quhafah begitu mencintai Baginda Nabi Muhammad SAW.
Referensi
At-Tirmidzi, I. (2017). asy-Syamail al-Muhammadiyah. ad-Dar al-'Alamiyyah.