Mohon tunggu...
Handika Suryo
Handika Suryo Mohon Tunggu... -

Hukum | Untuk Indonesia lewat tulisan - tulisan gagasan dan opini | Tulisan hanya mewakili pendapat pribadi

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Polemik Legalisasi Pernikahan Beda Agama dan Identitas Komnas HAM

6 September 2014   06:48 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:29 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdanaJudicial Review(JR) terhadap  UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Secara Khusus, yang dipermasalahkan dari UU tersebut adalah pasal 2 ayat 1 yang menjelaskan bahwa "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Menurut pemberitaan media, gugatan JR ini diajukan oleh 2 orang alumnus FH UI dan seorang mahasiswi FH UI.  salah seorang pemohon berargumen bahwaPasal tersebut dianggap dapat menimbulkan pemaksaan untuk menaati peraturan suatu agama tertentu dalam persoalan perkawinan, padahal kebebasan beragama dan perkawinan adalah salah satu hak asasi yang paling esensial. sementara salah seorang lainnya berpendapat jugaMengenyampingkan, hukum nasional dilakukan dengan melangsungkan perkawinan di luar negeri dan dengan melakukan perkawinan secara adat,Sedangkan mengenyampingkan peraturan agama, telah dilakukan dengan cara menaati dengan paksa aturan agama dari salah satu pasangan atau bahkan berpindah agama sesaat sebelum melangsungkan perkawinan. (sumber : https://id.berita.yahoo.com/mahasiswi-fh-ui-minta-mk-legalkan-pernikahan-beda-120749985.html)

Dalam hal ini  saya tidak akan terlalu menyoroti tentang apa yang mereka ajukan sebagai pemohon yang mengajukan hak konstitusi mereka. Dalam hal ini saya ingin sedikit menyoroti tentang tanggapan KOMNAS HAM, suatu lembaga mandiri yangkedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia.Dalam tanggapannya, Komnas HAM menyatakan setuju dengan pernikahan beda agama sebagaimana diajukannya JR terhadap UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. (Baca: http://nasional.kompas.com/read/2014/09/05/08424991/Komnas.HAM.Dukung.Perkawinan.Beda.Agama.Dilegalkan)

Refleksi awam saya sebagai masyarakat biasa disini menangkap sebuah kesalahan dalam berpikir. Tidak ada masalah dengan diajukannya JR UU tersebut ke MK oleh pihak yang merasa hak konstitusionalnya merasa dirugikan karena konstitusi menjamin hal itu, terlepas dari tidak setujunya saya dengan konsep pernikahan beda agama. Namun yang menyita perhatian adalah dukungan yang diberikan oleh Komnas HAM dengan mendukungnya pernikahan beda agama. Komnas HAM disini seharusnya lebih memaknai apa yang dimaksud dengan hak asasi dan apa yang dimaksud dengan kebebasan. Memang benar bahwa menurut kacamata HAM, bahwa hak setiap orang untuk membangun keluarga dan keturunan. Namun itu merupakan salah satu asas umum dalam kovenan HAM. Sekalipun itu disepakati oleh dunia internasional, bukan berarti tidak ada filterisasi terhadap asas umum yang masuk, harus diingat ada norma lain yang hidup yang juga harus dihormati seperti norma kesopanan, norma kesusilaan, norma agama, bahkan norma hukum sekaligus.

Seharusnya Komnas HAM tidak begitu saja mendukung usulan yang berkaitan dengan kebebasan begitu saja. HAM bukan berarti lepas dari norma yang ada, bukan berarti pula bebas tanpa ada aturan. perlu disadari secara asasi HAM seseorang itu dibatasi oleh HAM orang lain. Jika menikah beda agama ingin dilegalkan, perlu diingat dalam islam yang saya tahu adalah perintah menikah dengan yang seagama, artinya kalau memang adanya tuntutan untuk melegitimasi menikah beda agama, maka tuntutan tersebut sudah kabur karena tidak sesuai dengan norma agama. Bukan berarti agama membatasi hak seseorang, agama tetap melindungi hak seseorang untuka menikah, bahkan menikah itu dalam islam setahu saya adalah ibadah karena menikah itu separuh dari agama. Agama disini harus dipahami sebagai pedoman, bukan membatasi, sebagaimana adanya aturan dalam negara. Jangan dipandang bahwa ketika negara mengatur maka negara membatasi, harus diluruskan bahwa ikut mengaturnya negara adalah untuk menciptakan ketertiban sebagaimana menjadi tujuan hukum.

Oleh karenanya identitas Komnas HAM disini harus kembali diluruskan, bukan berarti setiap hak harus diakomodir oleh HAM, tapi justru hak - hak yang asasi lah yang harus dilindungi seperti misalnya tertuang dalam konstitusi kita untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya masing - masing. Negara merupakan instrumen pendidikan maupun pengarahan dalam menciptakan masyarakat yang bermoral, beretika dan toleransi. Justru kurang tepat jika ada yang berpendapat negara harus melepaskana beban keagamaan dan biarkan masyarakat beragama menurut hati nuraninya masing - masing. Jika memang begitu adanya bagaimana dengan adanya Sila ke-1 Pancasila? Apakah hari ini masyarakat Indonesia sudah mulai bosan dengan Pancasila? bagian mana lagi yang akan di kesampingkan dari Pancasila?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun