KPU telah menetapkan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pemilu 2019. Masing-masing pasangan pun sudah mendapatkan nomor urut. Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendapat nomor urut 1, dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno nomor urut 2. Uniknya, keduanya sepakat untuk menambahkan angka nol sebelum nomor urutnya, 01 dan 02.Â
Usulan itu memang dilemparkan oleh Arief Budiman, ketua KPU, dengan alasan supaya tidak terjadi bias terhadap partai politik yang mendapat angka 1 dan angka 2.Â
Penambahan angka nol ini memang tidak ada larangannya, tetapi pasti ada maksud lain yang tidak dikatakan, apalagi baru kampanye tahun ini penambahan tersebut dikeluarkan. Tetapi, mengingat angka 2 merupakan nomor urut parpol Gerindra dan secara kebetulan capres dari parpol tersebut juga mendapat nomor urut yang sama, apakah ada maksud tersembunyi dari KPU? Entah lah.
Angka 1 dan 2 seketika menjadi sangat sensitif belakangan ini. Swafoto yang selama ini kerap kali menggunakan pose berbentuk angka bagi sebagian kalangan dihindari. Agar tidak disangka mendukung pasangan calon tertentu, alias kampanye. Apalagi belum lama viral video terkait sensitifitas nomor urut capres.
 Pertama, ketika Jokowi berkunjung ke Kota Palu pasca gempa dan tsunami. Ketika salah seorang warga hendak berfoto dengan Jokowi, ia berpose dengan jari membentuk lambang peace, yang berarti menunjukkan angka dua. Sontak, paspampres yang berada di dekatnya mengubah jari warga itu, sehingga menjadi pose jempol, yang berarti satu. Lucu sih.
Kemudian, kejadian serupa terulang ketika pertemuan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank di Bali. Ketua Panitia IMF-Bank Dunia 2018 yang juga Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan melakukan hal yang tidak jauh berbeda dengan paspampres di atas. Korbannya kali ini Direktur Pelaksana IMF, Christine Lagarde.Â
Christine berpose victory, yang berarti menunjukkan angka dua lalu dikoreksi oleh Luhut menjadi satu. Alasannya sih, untuk menyatakan bahwa Indonesia number one. Dalih itu terdengar lucu sih bagi gua, mengingat Luhut merupakan orang dekat Jokowi.
Dari segelintir kisah di atas, pengalaman gua pun tidak jauh berbeda. Ketika gua berkunjung ke tim relawan Pro Jokowi (Projo) di markasnya, Pancoran, untuk sebuah tugas kuliah. Sebagai bukti telah melakukan wawancara, lazimnya melampirkan foto bukan? Nah, ketika foto dengan salah satu relawannya itulah gua dan teman gua, diminta untuk berpose membentuk angka satu.Â
Katanya, karena kami ada di markas Projo maka harus bentuk angka satu, kalau kalian di markas kubu sebelah juga nanti kalian menunjukkan angka dua. Beda hal ketika gua mendatangi kantor Mardani Ali Sera di DPR, Senayan. Ketika berfoto dengan inisiator gerakan #2019gantipresiden ini bilang; "jempolnya dong," lantas "gua pun berkata ini termasuk politik gak Pak?" Kami pun tertawa. Dia klarifikasi kalau telunjuk, baru politik, kalau cuma jempol artinya top. Padahal, dia merupakan tim pemenangan Prabowo-Sandi.
Lucunya, akhir-akhir ini kulihat kampanye seperti pemain togel yang menggunakan angka-angka sakti untuk memenangkan hadiah. Jangan sampai gegara perkara angka bisa membelah kesatuan bangsa.
Tulisan ini tidak mengandung unsur kampanye terhadap paslon tertentu, hanya menyuarakan apa yang gua lihat dengan mata dan gua dengar melalui telinga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H