Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi manusia. Tanah memiliki makna luas dari yang bersifat personal hingga komunal dengan kompleksitas bidang/dimensi baik ekonomi, politik, sosial budaya, agama, dan lain sebagainya yang memiliki kisah sejarah yang panjang dari awal kehidupan hingga nanti akhir zaman. Banyak yang kemudian bisa dibincangkan terkait dengan tanah. Namun satu hal yang termasuk penting untuk menjadi perhatian adalah tanah terkait warisan yang ditinggalkan oleh pewaris kepada ahli waris.
Warisan seringkali menimbulkan masalah, pertikaian, bahkan sebab perpecahan keluarga yang semula rukun. Dalam hal yang lebih luas warisan dapat menjadi sengketa (perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara orang perorangan bahkan badan hukum baik privat ataupun publik mengenai status penguasaan, pemilikian, penggunaan ataupun pemanfaatan atas suatu bidang tanah), bahkan menjadi konflik (perbedaan nilai, kepentingan, pendapat dan atau persepsi antara warga atau kelompok masyarakat dan atau warga atau kelompok masyarakat dengan badan hukum (privat atau publik), masyarakat dengan masyarakat mengenai status penguasaan, pemilikan, penggunaan ataupun pemanfaatan atas suatu bidang tanah, serta akan sampai pada perkara apabila sengketa dan/atau konfik pertanahan tersebut penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan.
Sebelum berbicara lebih jauh, perlu dipahami 3 kata berikut: waris, Pewaris dan Ahli Waris. Setiap manusia pada umumnya memiliki harta/kekayaan. Pada suatu kondisi ketika manusia pemilik harta/kekayaan tadi meninggal, maka muncullah istilah waris yang merupakan harta/kekayaan peninggalan orang yang meninggal. Orang yang meninggal dunia dalam konteks ini adalah pewaris dan penerima harta warisan yang berhak menerima disebut dengan ahli waris.
Beberapa permasalahan yang sering muncul adalah ahli waris. Terlebih jika jumlah ahli warisnya banyak dan masing-masing memiliki kepentingan yang tidak berujung pada kesamaan pendapat/kesepakatan terhadap harta warisan. Terlebih jika ahli warisnya berpencar berdomisili diluar wilayah pewaris dan tanah warisan. Sehingga untuk berkomunikasi dan bersepakat dalam tindakan dengan pembuatan dan pengesahan dokumen pengurusan warisan menjadi terkendala.
Meskipun didalam era teknologi komunikasi seperti saat ini sesungguhnya bisa menjadi solusi atas terpisahnya jarak ahli waris, namun ketika pada dasarnya tidak ada kesepakatan dan bahkan niat jahat dari sebagian ahli waris, maka jarak dan tersumbatnya komunikasi menjadi potensi masalah hukum dengan tidak melibatkannya ahli waris yang sesungguhnya memiliki hak terhadap warisan.
Budaya sungkan dan tabu mengurus segera warisan sedikit banyak juga menjadi sebab awal terjadinya masalah. Sering terdengar di masyarakat “kuburannya saja masih basah”, yang berarti mengulur pengurusan waris. Padahal pada saat pewaris meninggal biasanya semua ahli waris berkumpul. Namun ketika kemudian tidak segera dimanfaatkan untuk membicarakan warisan, maka ahli waris akan saling berpisah dan membutuhkan momentum/kesepakatan kembali untuk bertemu dan bermusyawarah.
Persoalan lainnya adalah terkait biaya pengurusan waris. Di beberapa Kota besar ataupun kecil seperti Kota Yogyakarta, harga tanah begitu mahal. Sehingga sangat berpengaruh terhadap biaya pengurusan tanah warisan. Meskipun yang jauh lebih mahal biasanya adalah pajak warisnya daripada biaya pengurusan sertipikat turun waris di Kantor Pertanahan (BPN di setiap kabupaten/kota). Tetapi untuk mendaftarkan ke Kantor Pertanahan disyaratkan sudah melakukan pengurusan pajak untuk tanda buktinya dilampirkan dalam berkas pendaftaran turun waris tanah. Sebagaimana dapat dilihat pada alamat https://kot-yogyakarta.atrbpn.go.id/cari-layanan.
Pada laman tersebut bisa dicari informasi layanan pertanahan termasuk dengan memilih warisan, yang akan didapatkan data persyaratan, waktu penyelesaian dan tarif (diluar biaya pajak) dengan simulasi biaya pengurusan tanahnya. Untuk pajak waris dapat dicari informasi sesuai dengan kebijakan/Peraturan Kepala Daerah masing-masing, terkait dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) sebagai pengurang perhitungan kewajiban pajaknya.
Dilemanya adalah ahli waris tidak mampu untuk membayar biaya pengurusan waris (pajak dan biaya pendaftaran waris di Kantor Pertanahan) karena tidak memiliki alokasi uang belanja pengurusan tanah, meskipun mereka memiliki aset tanah yang bernilai tinggi. Sehingga kondisi seperti itu juga menjadi permasalah untuk kemudian dibiarkan tidak diurus legalitas kepemilikan tanahnya, sehingga pada masa yang akan datang berpotensi menjadi permasalahan serius dengan kondisi waris bertingkat, disaat para ahli waris meninggal, semakin banyak ahli waris baru yang merupakan keturunan dari ahli waris awal. Bahkan terkadang jika jauh di masa depan, barangkali akan hilang riwayat kepemilikan tanah ketika tidak ada satupun ahli waris yang menempati atau berdomisili di dekat tanah warisan.
Berbagai gambaran permasalahan yang hendaknya menjadi perhatian terkait tanah warisan, perlu sesegera mungkin untuk mengurus dan tidak membiarkan tanah warisan. Sehingga kelestarian kemanfaatan tanah warisan dapat terjaga memberikan nilai kebaikan bagi pewaris sebagai wujud bakti dan penghormatan ahli waris kepada pewaris. Terhadap sesama ahli waris juga akan terjaga dan langgeng kerukunan dalam kehidupan keluarga besarnya. Serta tidak mewariskan permasalahan bagi anak keturunan generasi berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H