Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Humor Artikel Utama

Coki Pardede, Anies, dan Sulitnya Menemukan Kelucuan dari Komedi Gelap

6 Januari 2020   12:48 Diperbarui: 7 Januari 2020   11:46 2989
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Komedi gelap memang dibangun dalam kerangka yang mungkin saja menyinggung sebagian orang. Rumit, penuh kompleksitas. Namun bukan berarti tujuannya adalah semata untuk melukai."

Malam pergantian tahun 2020 kemarin, masyarakat Jakarta "dihadiahi" rahmat melimpah berupa hujan deras sepanjang hari. Hujan yang turun sejak 31 Desember 2019 sore, baru berangsur-angsur mereda di sore keesokan harinya.

Jakarta yang tak siap dengan jalur-jalur resapan air menuju ke dalam bumi, akhirnya tak kuasa memberi jalan bagi air yang terlalu melimpah untuk bisa mengantre secara tertib. Beberapa penjuru pun tergenang, ada yang sepinggang, sedada, namun ada juga yang cuma sampai semata kaki, tapi di lantai dua.

Curah hujan di malam pergantian tahun, memang cukup ekstrim. Di daerah Halim bahkan mencapai 377mm/hari. Ini merupakan catatan tertinggi sejak 24 tahun terakhir. Tapi tentu, tidak ada kaitannya sama sekali dengan tingginya tingkat orang bermaksiat.

Hujan dan maksiat ialah dua hal berbeda, yang tak saling berhubungan. Hujan bisa dipelajari dengan ilmu dan metodologinya sendiri. Sementara maksiat, ialah ranah pribadi antara manusia dan Tuhannya. Setidaknya begitu menurut saya. Namun tidak demikian bagi beberapa orang, yang kebetulan mencari nafkah sebagai pemuka agama.

Beberapa dari mereka yang memang tak setuju dengan perayaan tahun baru, bahkan ada yang sampai dengan tegas berdoa, supaya hujan turun sederas mungkin, agar meminimalisir kemaksiatan.

Jadi barangkali menurut mereka, warga yang tengah bersuka cita menyambut tahun baru, sebenarnya hanyalah mereka yang hendak bermaksiat di malam tahun baru. Dan maksiat bisa dihentikan, jika terjadi hujan deras. Begitu kan logikanya? 

Pada konteks itulah yang sebetulnya tengah dikritisi oleh Coki Pardede, seorang Stand-up Comedian, yang dalam cuitannya mengajak orang lain untuk tertawa dalam sebuah komedi yang gelap.

Dalam cuitannya ia menulis:

"Buat yang semalem ga "maksiat" tapi ikut kena dampak "azab" banjir, nyesel kan anda? Kalo tau sama-sama kena banjir juga, mending semalem mabok dan n**we. Kami Basah-basahan tapi dalam keadaan senang. Anda basah-basahan tetep sebel hahahaha."

Komedi gelap memang dibangun dalam kerangka yang mungkin saja menyinggung sebagian orang. Rumit, penuh kompleksitas. Namun bukan berarti tujuannya adalah semata untuk melukai.

Komedi gelap justru biasa dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan tertentu, yang tak tertembus dengan komedi serta sindiran-sindiran biasa. Komedi gelap seringkali terbentuk dari sebuah kemarahan, pemberontakan, namun tetap tak meninggalkan sisi komedinya meski dibangun tipis-tipis.

Melihat kerangkanya yang begitu rumit saja, tentu tidak semua orang bisa dengan mudah menemukan kelucuan dari sebuah komedi gelap. 

Orang lebih mudah menemukan ketersinggungan, bahkan mungkin terpicu untuk terbakar amarah, karena sebagaimana lazimnya warga +62 kebanyakan, lebih banyak yang gemar "bacot" ketimbang "baca". Maka tak heran, ketika orang lebih banyak yang menelan mentah-mentah konten, tanpa mau melihat dan memahami konteksnya. Perlu saya ulang?

Apa yang dicuitkan Coki, sebetulnya adalah suatu bentuk kejengkelannya, terhadap mereka yang seolah menjadi tangan kanan Tuhan di muka bumi. Mereka yang seolah bebas mengatakan ini haram, ini boleh, ini kafir, ini tak sesuai dengan apa yang agama ajarkan. 

Sementara jika aturan-aturan yang didengungkannya tadi, berbenturan dengan kepentingan mereka sendiri, hal tersebut menjadi tak berlaku lagi. Ini yang coba disuarakan Coki dalam bentuk komedi gelapnya.

Sayangnya Coki seolah lupa, terhadap siapa ia berhadapan, serta di mana ia melontarkan lawakan itu. Orang-orang yang dihadapinya ini punya pengikut yang cukup banyak, hampir semuanya tak siap menerima komedi gelap. 

Tapi tentu, selalu siap diajak gelap mata, bahkan boleh jadi kalap. Yang tentu saja membuat pesan dari Coki dalam komedinya itu, menjadi tak terdengar sama sekali.

Dan benar saja, ketika satu per satu orang mulai berkomentar, mengomentari cuitan komedi gelap Coki, tanpa memahami lebih dulu konteksnya. Dari situlah debat kusir dimulai. 

Coki mencuitkan A, netizen mengartikannya sebagai B, lalu netizen menyerang balik Coki dengan asumsi serta argumentasi B tadi. Kasihan Coki, nasibnya lagi-lagi gelap, segelap komedi yang tengah diciptakannya sendiri.

Saya sendiri adalah orang yang tak tertawa, bahkan sulit menemukan kelucuan atas komedi gelap yang coba disuguhkan Coki. Namun ketimbang ikut berkomentar, menyudutkan Coki, Saya memilih untuk berusaha memahami konteksnya, melihat dari mana sudut pandangnya. Dari situlah saya menemukan apa yang coba disampaikan Coki.

Dan terus terang, apa yang saya dapatkan memang tak lucu sama sekali. Malah menyedihkan. Sebab berkat komedi gelap inilah saya disadarkan, bahwa masih ada orang-orang yang mendoakan keburukan bagi sesamanya. Bahkan meski ia adalah seorang pemuka agama sekalipun.

Komedi gelap memang tak bisa dipahami secara terang-benderang, jika akal sehat kita lebih sering didahului oleh perasaan ketersinggungan, sedikit-sedikit sensi, terlebih jika kita malas untuk menemukan sendiri fakta yang sebenarnya, bukan berdasarkan pada narasi apa yang kita suka, terlebih "katanya-katanya".

Coki memang bernasib sial saja, dihakimi banyak orang yang bahkan tak memahami pesan tersirat dari komedi gelapnya.

Berbeda dengan Anies Baswedan, yang beberapa hari lalu berusaha menghadirkan kejenakaan bagi warganya yang kebanjiran, dengan melontarkan komedi yang tak kalah gelap:

"Anak-anak pada senang main tuh. Benar kan? Wong saya kemarin ke Kampung Pulo. Banjir kan di sana. Jadi anak-anak pada main saja, berenang."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun